Di tengah kencangnya laju ekonomi digital, kita harus mengubah cara pandang terhadap hak cipta. Hak cipta bukan lagi sekadar pasal hukum yang melindungi karya; ia adalah aset tak berwujud (intangible asset) bernilai triliunan rupiah bagi bangsa. Sebagai negara berlandaskan Pancasila, Indonesia punya tanggung jawab moral untuk menata ulang sistem hukum ini.
Amandemen Undang-Undang Hak Cipta harus segera dilakukan. Tujuannya: menempatkan hak cipta sebagai pilar akuntabilitas ekonomi dan pembangunan nasional, bukan sekadar alat perlindungan bagi segelintir individu. Kita harus menggeser paradigma hukum dari sekadar legal-formal menjadi moral-substansial, yang berjiwa gotong royong dan keadilan sosial.
Hak Cipta Adalah Aset Ekonomi, Wajib Diaudit!
Secara akuntansi, hak cipta sudah memenuhi standar global. Dalam International Accounting Standard (IAS) 38, aset tak berwujud didefinisikan sebagai sumber daya yang dapat diidentifikasi, tidak berwujud fisik, namun memberikan manfaat ekonomi masa depan.
Hak cipta memenuhi kriteria ini: dapat dilisensikan (Identifiability), pencipta mengendalikan manfaatnya (Control), dan jelas memberi royalti atau pendapatan (Future Economic Benefit).
Konsekuensinya, hak cipta harus dicatat, dikelola, dan diaudit seperti aset ekonomi lainnya.
Pencipta dan pemegang hak cipta harus mempertanggungjawabkan nilai ekonominya. Prinsip ini mendukung akuntabilitas publik: keterbukaan atas nilai dan penggunaan karya. Ini memastikan bahwa manfaat hak cipta tidak berhenti di kantong individu, tetapi memberi dampak ekonomi yang terukur dan nyata bagi masyarakat luas. Tanpa audit yang ketat, potensi ekonomi kreatif kita hanya akan menjadi angka semu di atas kertas.
Keseimbangan Keadilan: Kontrak Sosial HAKI dan Pancasila
Teori Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) memandangnya sebagai kontrak sosial antara pencipta dan publik. Negara memberikan hak eksklusif sementara, dengan syarat karya tersebut pada akhirnya memperkaya pengetahuan dan budaya umum.
Prinsip ini sangat sejalan dengan Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).