Globalisasi dan revolusi digital telah memicu pergeseran fundamental dalam cara kita hidup dan berkomunikasi: dari dominasi bahasa verbal (kata) menuju hegemoni bahasa bilangan (angka dan data). Fenomena ini bukan sekadar tren teknologi, melainkan isu filosofis dan kekuasaan yang membentuk masyarakat digital saat ini.
Angka: Lingua Franca Baru Kekuatan Global
Dalam dua dekade terakhir, data, statistik, dan algoritma telah menjadi lingua franca dunia. Menurut teori informasi Claude Shannon, semua pesan (teks, suara, gambar) direduksi menjadi bit atau bilangan biner agar dapat diproses dan dikomunikasikan secara efisien oleh mesin. Inilah fondasi teknis mengapa angka menguasai komunikasi global.
Namun, isu ini lebih dalam dari sekadar teknis:
- Ekonomi Data dan Pengawasan: Mengikuti pandangan Joseph Stiglitz dan Shoshana Zuboff, data kini adalah komoditas utama (modal pengawasan). Siapa yang menguasai data, menguasai mekanisme pasar dan bahkan kontrol sosial. Likes, views, dan engagement rate bukan lagi indikator sederhana, melainkan aset tak berwujud yang menentu nilai perusahaan.
- Rasionalitas yang Dingin: Filsafat teknologi Martin Heidegger mengingatkan bahwa fokus pada efisiensi dan kalkulasi (rasionalitas akuntansi ala Max Weber) membuat manusia terjebak dalam pandangan instrumental. Kita menjadi makhluk yang serba terukur, di mana kepercayaan, cinta, bahkan moralitas direduksi menjadi metrik dan skor.
Dilema Humanitas: Efisien Tapi Kehilangan Jiwa
Bahasa bilangan membawa efisiensi, transparansi, dan objektivitas palsu (karena algoritma pun memiliki bias). Namun, sisi gelapnya adalah pengikisan humanitas dan makna.
Dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma:
- Kekuasaan Algoritma: Kekuatan tidak lagi dipegang oleh yang pandai beretorika, tetapi oleh yang menguasai data. Algoritma media sosial menentukan opini publik, angka survei lebih dipercaya daripada argumen, dan estetika budaya diatur oleh sistem rekomendasi.
- Ancaman Dehumanisasi: Interaksi sosial direduksi menjadi statistik: jumlah followers menggantikan makna sejati sebuah hubungan. Masyarakat terukur, efisien, tetapi berisiko menjadi dingin secara moral.
Menjaga Keseimbangan: Makna di Atas Metrik
Kesimpulannya, era global adalah era transisi dari kata ke angka. Kita harus menguasai bahasa bilangan (data) untuk bertahan dan bersaing, tetapi tidak boleh kehilangan bahasa verbal.
Bahasa verbal adalah wadah bagi musyawarah, narasi, empati, dan kebijaksanaan---hal-hal yang tidak dapat diukur oleh bit dan algoritma. Keseimbangan ini krusial: menguasai data tanpa kehilangan makna, menggunakan angka tanpa menyingkirkan nurani. Sebab, angka membutuhkan kata untuk memiliki makna, dan data membutuhkan manusia untuk memiliki arah.