Mohon tunggu...
Herman Chipenk
Herman Chipenk Mohon Tunggu... Pemerhati Buruh dan Gig Workers

Sedang Mengetik..........

Selanjutnya

Tutup

Money

ANALISIS: Meritokrasi Rapuh di Era Digital, Korban Dominasi Oligarki Teknologi di Indonesia

8 Oktober 2025   17:03 Diperbarui: 8 Oktober 2025   17:03 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta - Era digital seharusnya menjadi pintu gerbang menuju keadilan sosial dan produktivitas ekonomi, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk maju berdasarkan kemampuan dan prestasi. Inilah yang disebut meritokrasi. Namun, di Indonesia, cita-cita ini masih jauh dari kenyataan.

Menurut praktisi hukum Sagu Agustinus S.H., prinsip meritokrasi justru melemah di bawah tekanan oligarki ekonomi digital dan lemahnya penegakan hukum. Alih-alih menciptakan sistem yang adil dan produktif, digitalisasi saat ini justru memperdalam ketimpangan, memfasilitasi manipulasi regulasi, dan memperkuat dominasi segelintir aktor ekonomi besar.

Berikut adalah analisis Sagu Agustinus S.H. mengenai rapuhnya meritokrasi di era digital Indonesia:

1. Kapitalisme Digital Tanpa Meritokrasi
Secara teoritis, meritokrasi adalah pendorong utama efisiensi dan produktivitas. Di sektor digital, ini berarti memberi ruang bagi talenta dan inovator untuk tumbuh berdasarkan kemampuan, bukan koneksi. Sayangnya, struktur ekonomi digital di Indonesia masih kental berbau oligarki.

Akses terhadap data, jaringan, modal ventura, hingga proyek digital besar cenderung dimonopoli oleh perusahaan yang memiliki kedekatan politik atau ekonomi dengan elite kekuasaan. Sagu menyebut fenomena ini sebagai "kapitalisme digital tanpa meritokrasi".

Dampaknya? Talenta digital muda, startup daerah, dan UMKM berbasis inovasi kehilangan ruang untuk bersaing secara adil. Kondisi makro ini pada akhirnya menurunkan produktivitas nasional karena inovasi tidak lagi lahir dari kompetisi sehat, melainkan dikendalikan oleh kelompok tertentu yang mampu mengatur arus investasi dan regulasi. Digitalisasi yang seharusnya memperluas kesempatan, kini justru memperdalam kesenjangan sosial-ekonomi.

2. Hukum Tunduk pada Rule by Data and Capital
Pilar kedua yang rapuh adalah sistem hukum. Hukum seharusnya menjadi penyeimbang agar keadilan dan meritokrasi berjalan. Namun, dalam praktiknya, hukum digital di Indonesia masih tunduk pada kepentingan ekonomi besar.

Kasus pelanggaran data pribadi, eksploitasi pekerja digital, hingga isu monopoli algoritmik sering kali berakhir tanpa kejelasan hukum. Hal ini, kata Sagu, menunjukkan bahwa hukum bukan lagi alat meritokrasi, melainkan alat legitimasi bagi kekuasaan ekonomi.

Jika dalam kerangka rule of law setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum, di era digital yang berlaku adalah rule by data and capital, di mana kekuasaan ditentukan oleh siapa yang menguasai teknologi dan modal. Bahkan, seleksi pejabat publik di bidang teknologi juga masih sarat politik, bukan merit. Imbasnya, hukum kehilangan fungsinya sebagai penjaga keadilan dan produktivitas.

3. Keadilan dan Produktivitas Menjadi Korban
Ketika meritokrasi melemah, dua nilai dasar bangsa ikut terancam: keadilan dan produktivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun