Hari ini sang matahari tumben keluar dari peraduannya dengan semangat yang menyala, sehingga mempengaruhi kondisi tubuh penulis yang rasanya agak lemah, karena seminggu ini banyak saudara yang bertandang ke rumah dengan anak cucunya. Rutinitas jalan kaki dengan anjing kecil penulis seakan membangkitkan gairah kembali. Dan karena isteri juga masih dalam keadaan kecapaian, maka penulis hanya berjalan kaki mengelilingi komplek perumahan dimana kami tinggal.
Kembali masuk rumah, isteri menunjukkan sebuah surat yang barusan diantar petugas satpam yang berjaga di depan pintu perumahan, dengan pesan agar nanti malam setelah dibaca dan diisi segera dikembalikan lagi ke pos satpam. Sejenak penulis tertegun, sambil bertanya dalam hati, surat apa gerangan ?
Memang saat tiba-tiba saja menerima surat yang tanpa diketahui darimana asal usulnya terkadang membuat jantung berdegub. Kata orang ada dua surat yang membuat kita deg-degan. Yang pertama adalah surat cinta. Dan yang kedua adalah surat tagihan. Keduanya membuat tensi bisa berubah drastis. Apalagi surat tagihan yang mengingatkan kita kalau sudah jatuh tempo. Misalnya surat peringatan tagihan cicilan kredit motor yang sudah menunggak satu dua bulan. Atau dapat surat peringatan karena belum membayar karu kredit. Semuanya bikin deg-degan bukan ? Atau malah ditambah campuran emosi, karena uangnya belum ada.
Kata  sebagian orang juga, bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar ? Apa betul ? Padahal sejatinya peraturan dibuat untuk hidup menjadi lebih tertib. Dan apabila terjadi peringatan seperti surat peringatan di atas, sejujurnya peringatan ditujukan agar jangan sampai kita menabrak peraturan. Karena ketika timbul pelanggaran terhadap peraturan jelas akan menimbulkan konsekuensi logis.
Seperti seorang cucu keponakan penulis yang masih berusia satu tahun yang sudah berulang kali dikasih tahu jangan pegang api lilin. Kebetulan kemarin malam di rumah mendadak mati lampu tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Mungkin travonya tersambar petir. Bisa jadi. Yang jelas rumah penulis mendadak gelap, seperti tema Indonesia Gelap yang bergaung saat ini. Mungkin karena rasa penasaran dan mengabaikan peringatan yang ada, si cucu keponakan dengan pe denya memegang api lilin yang masih menyala. Dan akibatnya ujung jarinya melepuh.
Mendadak penulis jadi ingat sebuah kejadian menarik yang terjadi beberapa tahun lalu. Suatu kali penulis berempat bersama isteri dan dua anak naik mobil ke arah Solo. Waktu itu belum ada jalan tol sampai ke Solo. Jalan tol hanya baru sampai Bawen. Jadi setelah exit di gerbang tol Bawen, penulis mengarahkan mobil ke Solo lewat jalan nasional. Selewat Tingkir, tepat di tikungan jalan dengan marka jalan yang lurus, tiba-tiba kendaran yang ada dI depan penulis mengerem mendadak.
Secara reflek, untuk menghindari tabrakan, penulis banting setir ke kanan melewati marka jalan yang solid. Beberapa meter di depan, ternyata sedang ada operasi gabungan. Dan gerakan maneuver mobil penulis jelas terlihat pak polisi. Jadi kena tilanglah kami. Sejenak terpikir, apa yang sedang kami alami ? Sebelum berangkat persiapan sudah oke. Doa memohon perlindungan kepada Tuhan juga sudah. Tetapi kenapa tetap mendapat surat pelanggaran alias tilang ? Jelas karena melanggar peraturan. Menyangkal ? Peraturan adalah peraturan. Dan mau gak mau, suka tidak suka, harus siap menerima konsekuensi buah pelanggaran.