Aduhai ibu tiriku
Kasihanilah padaku
Bagai anakmu sendiri
Agar dapat ku berbakti
Syair dan irama lagu ini begitu dramatis dan penuh kegetiran. Syahdu namun mencemaskan. Aku ingat dimasa kecil selalu merasa ketakutan mendengarkan lantunan lagu ini. Aku akan berupaya mematikan kasetnya atau berlari menjauh dan berpura-pura tidak mendengarkannya.
Ketakutan yg merasuk sisi emosi seorang anak yg takut kehilangan ibu kandungnya dan cemas melihat bapaknya. Para musisi, penyanyi, industrialis musik, birokrat, psikolog sepertinya tak peduli saat itu. Komersialisasi drama kehidupan dan relasi ibu tiri dengan anak tiri yg digeneralisir lebih menggiurkan daripada mempertimbangkan sisi kejiwaan dan emosional anak.
Cobalah kalian cari di google dgn mengetik "ratapan anak tiri" maka berderet-deret link lirik lagu dan penyanyi yg pernah mempopulerkan lagu ini sejak jaman bahuela hingga saat ini. Lagu legendaris sepanjang masa yg tentunya menjadi legenda dalam mitos yg menakutkan anak jaman dari masa ke masa.
Untungnya ibuku yg lain yg bernama ibukota menyelamatkanku dan terhindar dari bayang cengkeraman ibu tiri yg diframe negatif oleh seniman melankolis, apatis dan paralysis. Ibukota ternyata memberikan ladang baru untuk kehidupanku.
Terbuka untuk Semua
Kesempatan acara jamuan malam ini dengan delegasi budaya dan pariwisata yg dibawa oleh Deputi Gubernur DKI Jakarta ke Berlin, kumanfaatkan utk bercengkerama dengan para seniman Betawi dan Bali.
Physically, mereka gak kalah posturnya dengan anak muda Jerman yg sudah demikian dari sononya. Mereka tampil pede dan cukup intelek mewakili sosok generasi muda Indonesia masa kini. Atau dengan kata lain gak modal tampang doang.
Penampilan mereka cukup impresif saat memeriahkan acara Pamelaspasan Pura Tri Hita Karana di Garten Der Welt Marzhan dan Festival Culture Richness of Indonesia di Internationale Garten Ausstellung (IGA) 2017 di kota Berlin.