Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rendah Hati Menyikapi Peristiwa Papua

24 Agustus 2019   03:22 Diperbarui: 25 Agustus 2019   10:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: akun instagram PSSI

Dua hari setelah perayaan kenang hari ulang tahun ke-74 Republik Indonesia, tepatnya 19 Agustus 2019,  jalanan di ibu-ibu kota macet, tidak ada aktivitas ataupun pelayanan di kantor-kantor, beberapa sekolah diliburkan. Semua turun ke jalan, menempuh jarak berkilo-kilo meter. Orang-orang masih hanyut dalam perayaan kemerdekaan ini Negara dalam rupa karnaval.

Agar bernilai estetis, nasionalisme berbalut lokalitas, busana daerah dari berbagai etnis dikenakan. Actus itu dilabeli karnaval budaya, demikian kebiasaan merayakan kemerdekaan dalam segala bentuk, itu budaya!

Pandangan publik, merdeka itu bebas dari segala belenggu, apapun itu. Drum band dari kelompok anak-anak hingga orang muda, bahkan aparat keamanan, itu seperti suara-suara pekik kemerdekaan. Semua merayakan kemenangan.

Saat yang sama, ada samasaudara di beberapa kota di Papua juga turun ke jalan jalan. Masih sama, jalanan macet-lumpuh total. Apa yang bikin beda?

Tiang-tiang listrik dirubuh-cabut, kantor yang adalah rumah rakyat dibakar, rusuh dimana-mana. Itu bukan pekik kemerdekaan, bukan pula karnaval berlabel budaya. Itu semua adalah pekik kesakitan. Iya, mereka sakit, sakit hati yang paling!

Mengapa ada itu rasa sakit? Segala kemugkinan bisa jadi 'sebab', tetapi dalam situasi yang demikian, sakit itu datangnya dari sesama yang adalah se-tanah air, sebangsa; hidup bersama sebagai saudara dalam kandung ibu bernama Indonesia. Sesama, untuk beberapa saat dianggap musuh bahkan disapa secara tidak beradab. Tanpa disadari, nama-nama binatang menggantikan nama manusia sebagai pribadi ataupun kelompok.

Mungkin, semua itu akibat dari ego dan amarah yang tak terkendali. Bisa saja dengan mudah kita berucap, tetapi saat yang sama menimbulkan luka dan sakit bahkan trauma berkepanjangan. Akibat semacam ini tentu tidak kita inginkan bersama. Sebelum lanjut, mari bersama Edo Kondologit, kita menyanyikan lagu ciptaan Franky Sahilatua:

Tanah Papua

Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
di sana aku lahir
bersama angin bersama daun
aku di besarkan

Hitam kulit keriting rambut, aku Papua
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua
Biar nanti langit terbelah, aku Papua

dst....


Rasis, Isyarat Superioritas dalam Bangsa yang Majemuk

Indonesia sebagai bangsa yang besar, memiliki banyak suku, budaya, Bahasa, keyakinan, dan lain-lain yang merupakan kekayaan bagi ini Negeri.  Itu sebabnya, persatuan senantiasa menjadi kebanggaan. Ya, kita patut berbangga bahwa kemajemukan menjadikan kita satu, itu luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun