Mohon tunggu...
Herman Aryaka
Herman Aryaka Mohon Tunggu... History Enthusiast

Pembelajar seumur hidup dan pengembara dua alam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Reuni Yang Tertunda (Sebuah Eulogi)

23 September 2025   11:30 Diperbarui: 22 September 2025   14:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan yang lalu tanpa sengaja aku bertemu dengan teman lama di hotel tempatku menginap di Jakarta. Dia tampak luar biasa. Meski menurutku agak pucat tapi dia kelihatan jauh lebih muda. Padahal dia dan aku sebaya, sama sama berusia di atas 80 tahun. Seusai menikmati makan malam bersama anak dan cucu di coffee shop hotel ketika melintasi koridor di lantai lima sekonyong konyong muncullah Bahtiar si teman lama itu. Dengan sangat yakin dia mendekatiku lalu menyebut nama lengkapku serta daerah asalku. Tanpa ragu dia mengatakan bahwa aku dan dia pernah kuliah bareng di Jakarta. Meskipun mulanya agak ragu, tapi aku berusaha keras untuk mengingat. Dibutuhkan usaha ekstra setelah lebih dari 60 tahun berlalu tanpa pernah bertemu. Dan ternyata dia berhasil mengembalikan ingatanku tentang dirinya. Memang kami pernah menuntut ilmu bersama di Jakarta pertengahan tahun 1960-an yang penuh gejolak politik.

Keesokan hari diantar oleh anak dan cucu aku meninggalkan Ibukota menggunakan kereta pagi. Aku  kembali kepada kesendirianku. Kemudian hari -- hari yang aku lalui menjadi berbeda. Sesuatu menggelayuti pikiranku. Dan itu adalah bayangan wajah Bahtiar. Seiring berjalannya waktu, bayangan itu tidak juga menghilang ditelan rutinitas keseharianku. Bahkan sekarang setelah lewat sebulan pasca pertemuan tersebut aku baru merasa ada yang tidak wajar pada diri Bahtiar. Selama pertemuan yang berlangsung di koridor hotel, dia menolak ketika aku mengajaknya masuk ke kamar atau menikmati teh di coffee shop. Selama pertemuan dia mendominasi pembicaraan. Dia sangat menguasai keadaan dibandingkan aku yang  mendadak menjadi sangat kikuk. Pada saat aku menulis cerita ini perasaan heranku belum hilang. Cara dia berbicara sangat meyakinkan. Dia mampu membuatku tertegun diam menyimak. Aku baru ingat ternyata selama pertemuan dia jarang mengambil jeda. Kalimat  -- kalimatnya cenderung panjang tapi tidak membosankan. Sebuah pertemuan singkat tapi meninggalkan kesan yang mendalam.                                      

Di tengah tengah perbincangan kami, aku menanyakan keadaan keluarganya. Namun  Bahtiar dengan halus mengalihkan arah pembicaraan dengan mengajak aku bernostalgia. Daya ingatnya membuatku terkesima. Dia mampu mengingat lebih banyak teman kuliah. Sementara aku hanya bisa mengingat kurang dari sepuluh. Itupun tidak semua bisa kuingat dengan pasti namanya. Sepanjang pertemuan, Bahtiar berhasil menghidupkan kembali kenangan lama kami sewaktu menuntut ilmu di kampus perjuangan. Meskipun ingatanku akan Bahtiar sangat samar, tetapi satu hal yang bisa aku ingat dia sangat aktif terlibat di dalam kesatuan aksi mahasiswa yang kelak menjadi pelopor pergerakan melawan rezim Orde Lama pasca revolusi 1965. Teman -- teman yang sekian lama aku lupakan tiba tiba muncul dalam benak saat Bahtiar menceritakan kembali kiprahnya sebelum dan sesudah revolusi. Seolah baru terjadi kemarin dengan lancar Bahtiar menyebut nama nama rekan seangkatan seperti Lalu Sandi Wirabhuana, Thoriq Effendi, Wahyu Suryani, Rohadi, Siti Maisaroh, Gabriel Haning, Yusuf Amin, Togap Mulia, Suprihatini, Anggiat, Aos Subandi ,Wayan Sumenata, Sadrack Bangapadang, Budi Wicaksono, Partono, Dudon Mahdiar, Alexander Soro, Subardi, Abdul Ghani, Guntur Rusman, Peter Lekahena, Irawan Raharjo, Khaerun Umam, dan masih banyak lagi! Untuk orang yang sudah berusia di atas 80 tahun, kemampuannya mengingat begitu banyak nama teman kuliah menurutku sangat mengesankan. Hingga tiba waktu untuk berpisah, dia tidak juga menyinggung perihal keluarganya. Aku bahkan lupa menanyakan apakah dia menginap di hotel itu.

Sebenarnya dari sederet nama yang diceritakan kisahnya oleh Bahtiar ada yang menjadi tetangga, yaitu Wahyu Suryani. Tempat tinggal Irawan juga masih sekota denganku. Rasa penasaran mendorongku untuk menggali informasi lebih dalam tentang apa dan bagaimana Bahtiar yang masih terasa samar. Maka pada Minggu pagi pekan kemarin aku bertandang ke rumah Wahyu Suryani. "Tentu aku ingat dia!" seru Wahyu seusai aku bercerita perihal pertemuanku dengan Bahtiar. Orator ulung begitu Wahyu menjulukinya. Mengapa aku tidak bisa mengingatnya? Bahkan Wahyu Suryani nenek dengan 17 cucu saja masih bisa mengingat sosok Bahtiar. Bukan aku melupakan Bahtiar tetapi yang sebenarnya terjadi pada saat kuliah dulu aku tidak begitu mengenal Bahtiar. Namanya memang sering disebut karena dia aktif di organisasi mahasiswa dan kegiatan seni di kampus. Tapi rasanya aku tidak pernah berinteraksi secara langsung dengannya. Apalagi kami beda jurusan. Aku belajar ilmu ekonomi, sedangkan informasi mengenai jurusan yang diambil Bahtiar aku tidak tahu atau tidak mau tahu. Kehidupanku sewaktu kuliah dulu hanya berkisar antara tempat indekost di Kwitang dan kampus di Salemba. Lalu perpustakaan dan toko buku. "Astaghfirullah!" jeritku ketika Wahyu menanyakan nomor kontak Bahtiar. "Waktu lebih dari satu jam terbuang percuma", keluhku. Media sosial? Nihil! Bagaimana kami bisa menghubungi Bahtiar lagi? Usia membuat penyakit lupa yang aku derita semakin parah. Dengan menggunakan ponsel Wahyu, kami coba menghubungi Irawan. Beruntung Irawan menjawab dan siap untuk mengadakan acara reuni bertiga pekan depan di rumahku. Sengaja aku tidak menyampaikan tujuan diadakannya reuni ini.

Pada hari pertemuan itu, Irawan datang diantar oleh cucunya dengan sedan terbaru merk terkenal berwarna putih. Penglihatannya menjadi berkurang akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Cucunya tampak canggung. Usianya mungkin 20-an. Dia disuruh menunggu, tapi kusuruh pulang. Aku berjanji untuk mengantar Irawan pulang seusai pertemuan. Tak lama kemudian Wahyu Suryani datang berjalan kaki seperti kebiasaannya. Setelah berbasa basi, segera aku mengutarakan maksud dan tujuan yang utama diadakannya pertemuan ini. Mendadak raut wajah Irawan berubah. Dia tercenung cukup lama sesaat setelah aku mengakhiri sambutan singkat. Dia tampak berpikir dalam. Sulit untuk menebak apa yang sedang dipikirkan olehnya. "Sudah lama aku menantikan pertemuan ini!" gumamnya lirih. "Subur, tahun berapa kau kembali ke Purwokerto?", tanya Irawan penuh selidik tertuju padaku. Tahun 1965 jawabku.

Tepatnya tanggal 8 Juni 1965 aku meninggalkan Ibukota. Aku tidak sempat menyelesaikan kuliah yang baru berjalan 3 semester karena orang tua memaksaku pulang. Mereka mengkhawatirkan keadaanku di Jakarta yang semakin tidak menentu begitu bunyi telegram yang aku terima saat itu. Pada saat Bapak menjemputku  2 pekan setelah telegram diterima sempat terjadi tawar menawar. Aku mohon ijin untuk tetap tinggal dan menyelesaikan kuliah. Tapi surat dari Ibu yang disodorkan Bapak kepadaku membuatku terdiam dan menuruti permintaan mereka. Jadi pada saat pergerakan mahasiswa mencapai puncaknya dengan melakukan aksi turun ke jalanan di Jakarta mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah aku sudah kembali ke kampung halaman. Pantas saja, begitu banyak kejadian yang tidak terekam di benak setelah kepulanganku. Jika pun bertahan di Jakarta belum tentu aku serta merta turut bergabung dalam pergerakan mahasiswa. Aku tidak terlalu tertarik dengan politik. Pesan orang tua lebih kuat mendorongku untuk mengutamakan kuliah daripada hal yang lain termasuk berpacaran.

"Aku pernah terlibat dalam sebuah perberdebatan sengit dengan Bahtiar" tiba tiba suara Irawan memecah keheningan yang sempat terjadi. Wajahnya mengeras. "Aku sangat mengenal Bahtiar karena kami satu jurusan". "Dia komunis!" dia setengah berteriak. Bahtiar belajar sastra dan adalah mahasiswa cerdas yang aktif di Lekra! Untuk pembaca yang berusia muda, kepanjangan Lekra adalah Lembaga Kesenian Rakyat yang dibentuk oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai tandingan, para seniman yang anti komunis kemudian mendeklarasikan Manifesto Kebudayaan atau Manikebu. Irawan dan Bahtiar adalah aktifis yang berseberangan paham ideologinya. Di sela sela kesibukan kuliah, Irawan menjalani profesi sebagai jurnalis lepas. Koran tempatnya bekerja sangat anti komunis. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya? Diam diam aku merasa bersalah kepada kedua tamuku karena sangat jarang berkomunikasi. Dalam hati aku menghibur diri mencari pembenaran. Sebagai anak sulung dari 7 bersaudara aku diberi tanggungjawab oleh orang tua untuk mengurus perusahaan garmen warisan agar semakin berkembang. Hal inilah yang menyita waktuku dari tahun ke tahun sampai melupakan peristiwa besar yang terjadi di negeriku tercinta.  Bahkan peluang untuk menjadi saksi hidup peristiwa bersejarah di negeri tercinta pun menguap karena alasan ekonomi keluarga. Benar benar egois! Ada penyesalan yang sangat dalam.

Sejenak Irawan mengambil nafas dalam dalam. Sejurus kemudian dia meneruskan pembicaraan. Kisahnya fokus tentang Bahtiar sebelum dan sesudah revolusi 1965. Ternyata Bahtiar 3 tahun lebih tua dari usiaku. Dia merupakan kader muda Partai Komunis Indonesia. Dia pernah belajar di Moskow dan mampu berbicara dalam 5 bahasa asing. Kembali ke Indonesia tahun 1962. Saat itu dia langsung aktif menulis. Tulisan -- tulisannya tentu merefleksikan ideologi komunis yang diyakininya sebagai jalan terbaik. Perdebatan sengit yang dimaksud Irawan antara dirinya dengan Bahtiar ternyata adalah perang opini di media. Setiap kalimat yang diucapkan Irawan menunjukkan emosinya yang terpendam. Suaranya yang berat terkadang bergetar menahan gejolak emosi. Aku dan Wahyu hanya terdiam mendengar penuturan rekan kami ini. "Koran tempatku bekerja dibredel pemerintah oleh hasutan Lekra!" Akibatnya kelanjutan studi Irawan hampir terhenti. Selama PKI berjaya Irawan mengalami masa masa sulit. Semua menjadi jelas sekarang.

Lalu ingatanku kembali pada tahun 1962 ketika lulus SMA. Aku tidak langsung meneruskan studi ke perguruan tinggi melainkan bekerja di perusahaan konveksi milik orang tua selama satu tahun. Tugasku adalah membantu mencari pedagang besar untuk memasok kain seragam tentara dan polisi. Selama masa bekerja tersebut, aku bolak balik ke Jakarta untuk menjalin relasi dengan pengusaha tekstil di sana. Rupanya aku melanggar kesepakatan "kontrak kerja" dengan perusahaan milik orang tua. Aku mengajukan perpanjangan kontrak kerja selama satu tahun sehingga tahun 1964 aku baru benar benar kembali fokus pada kelanjutan studiku. Karena merasa nyaman di Jakarta maka aku mendaftar di universitas tertua di negeri ini. Alhamdulillah diterima di Fakultas Ekonomi sesuai harapan orang tua.

Kudeta gagal tahun 1965 membawa perubahan besar pada diri Bahtiar. Pergantian rezim membuat pihak yang pro PKI seperti Bahtiar menjadi musuh rakyat. Ternyata Bahtiar tidak ikut aksi mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan rakyat seperti dugaanku sebelumnya. Ketika posisi PKI terjepit dan berseberangan dengan rakyat, banyak kadernya yang  menghilang termasuk Bahtiar. Irawan berhasil melanjutkan studi dan menjadi saksi hidup peristiwa besar di tanah air. Setelah menyelesaikan studi dia tetap aktif dalam kegiatan kampanye anti PKI. Irawan kemudian bekerja di RRI Jakarta sampai pensiun. Pantas saja dia seperti ensiklopedia. Kabar tentang Bahtiar pasca revolusi 1965 tidak terdengar hingga awal tahun 1967 ketika dia ditangkap aparat lalu menjalani hukuman di Pulau Buru sampai tahun 1981. Keluarganya melarikan diri ke Uni Soviet melalui RRT atau yang sekarang disebut Tiongkok.

Setelah menghela nafas panjang Irawan menatapku agak lama. Wajahnya yang tadi sempat mengeras sudah melunak. "Subur, aku minta maaf tapi...".  Dia tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya. Aku bingung. Kawanku ini agaknya meragukan kebenaran cerita pertemuanku dengan Bahtiar. Aku belum terlalu pikun! Seolah mengerti suara hatiku yang protes, kawanku berujar bahwa perbincangan sebaiknya diskors dulu karena haus. Sejenak setelah menikmati hidangan, Irawan melanjutkan : "Aku mengundang kalian berdua reuni di rumahku hari Sabtu pekan depan". "Ada yang ingin aku perlihatkan". "Aku punya banyak info tentang Bahtiar". Ucapan Irawan ini sungguh membuatku penasaran. Dia justru menyalahkan aku mengapa tidak diberitahu maksud dan tujuanku mengadakan pertemuan ini. "Seharusnya aku diberitahu jadi bisa aku perlihatkan sekarang". Pertemuan kami akhiri dengan makan siang bersama. Wahyu mengangguk setuju untuk kembali bertemu pekan depan di rumah Irawan. Dia minta dijemput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun