Mohon tunggu...
Herman Seran
Herman Seran Mohon Tunggu... Petani - Petani

Pekerja swasta yang menulis sebagai hobi dengan ketertarikan multispektrum. Konsentrasi khusus pada valuasi projek, manajemen organisasi, pemberdayaan masyarakat, komunikasi dan negosiasi strategis dan ekonomi ekstraktif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

The Power of Kepepet

1 Februari 2019   15:45 Diperbarui: 4 Februari 2019   10:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Para ahli berpendapat bahwa semakin banyak pilihan dalam mengatasi suatu persoalan semakin tinggi peluang bagi organisasi atau orang untuk mendapat hasil yang lebih besar. Semakin besar fleksibilitas untuk membuat pilihan semakin besar ekspektasi untuk mencapai hasil, sekaligus memberi nilai tambah yang sering disebut sebagai nilai pilihan (option value).

Misalnya saja, jika seseorang mempunyai kesempatan dan pilihan yang banyak bagaimana memilih karir atau mata pencaharian maka secara akal sehat akan besar peluang untuk menentukan pilihan yang memberi hasil terbesar baik secara material maupun spiritual.

Lain halnya mereka yang dilahirkan dengan kondisi terbatas sehingga tidak punya pilihan yang banyak, melainkan terjebak dengan satu pilihan saja. Akibatnya, jika tidak cocok dengan kemampuannya maka hasilnya tidaklah optimal.

Namun demikian, tanpa pilihan tidak selalu berarti tanpa peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Mengapa demikian? Karena tanpa pilihan membuat seseorang menjadi lebih fokus dan mengoptimalkan pilihan yang tidak beragam tersebut. Di sinilah sebenarnya argumen para ahli manajemen tentang the power of focus (kekuatan dari fokus) terimplementasikan secara optimal.

Orang yang mempunyai pilihan terbatas, dipaksa untuk mengoptimalkan pilihan yang ada jika ingin sukses. Pikiran dan impian mereka tidak terbagi karena pilihan yang ada membatasi mereka untuk berimajinasi di luar pilihan yang ada. Lain halnya dengan mereka yang memiliki banyak pilihan; mereka sulit fokus pada satu pilihan, karena semua pilihan begitu menjanjikan untuk dieksplor tanpa dieksploitasi secara maksimal.

Dengan demikian tanpa pilihan juga sebenarnya memiliki nilai yang diharapkan (expected value) yang bisa sama besar atau lebih besar dari nilai terekspektasi dari pilihan yang banyak. Banyak pilihan memiliki potensi nilai positif dan juga biaya untuk mengeksplorasi dan mengimplementasikannya (implemented costs dan opportunity costs) yang secara negatif mempengaruhi expected value dari suatu hasil yang diharapkan.

Sebaliknya, pilihan terbatas memaksa orang konsentrasi pada pilihan tersebut dan mengkesploitasinya secara optimal, sehingga tidak membuang-buang waktu (opportunity lost) dan fokus mengeksploitasi pilihan yang ada secara optimal. Dengan kata lain mereka mengekstrak nilai tambah melalui fokus pada kompetensi utama (value addition through focusing core competency). Banyak contoh yang bisa dipetik dalam sejarah dunia maupun sejarah Indonesia.

Satu contoh klasik yang bisa disaksikan sampai hari ini secara global adalah diaspora Israel yang tersebar di seluruh dunia. Pada akhir abad kelimabelas mereka tidak diberi banyak pilihan oleh bangsa Eropah untuk mengambil bagian dalam sektor-sektor tertentu yang akhirnya memaksa mereka fokus pada ilmu pengetahuan dan bisnis. George G. Szpiro dalam bukunya Pricing the Future (2011) menyatakan bahwa lingkungan mereka hiduplah yang menyebabkan kaum Yahudi seperti sekarang. 

Maka tidaklah mengherankan Yahudi adalah ras yang paling banyak menerima hadiah nobel dan menghasilkan banyak orang kaya di dunia. Dalam lingkup Indonesia tidak kalah menarik contoh tentang kesuksesan karena keterbatasan. Etnis China di Indonesia pada jaman Orde Baru sedikit sekali peluang bagi mereka untuk terlibat dalam birokrasi dan politik.

Keterbatasan pilihan membuat etnis China fokus pada perdagangan yang menyebabkan mereka keluar menjadi kelompok etnis yang secara agregat menguasai perekonomian Indonesia. Bahkan hal itu menimbulkan kecemburuan sosial yang mencapai klimaksnya pada tahun 1998, ketika perampokan, pembakaran bahkan pemerkosaan melandah Jakarta waktu itu.

Walaupun, tidak disadari bahwa mereka mengoptimalkan pilihan yang terbatas yang mereka miliki sementara etnis lain kebingungan dengan pilihan yang begitu banyak sehingga tidak mengkonsentrasikan sumberdaya mereka secara optimal. Pelajaran yang bisa ditarik adalah bahwa tidak ada pilihan bisa lebih bernilai daripada banyak pilihan jika kita tidak mampu mengeksploitasinya secara optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun