Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjemput Akselerasi Reformasi Birokrasi Melalui Pilkada

9 Februari 2020   20:24 Diperbarui: 10 Februari 2020   14:06 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pilkada. (Sumber: KOMPAS/TOTO SIHONO)

Mengapa penulis tidak bosan-bosannya mengambil tagline "reformasi birokrasi" dalam beragam tulisan di berbagai media, jawabannya sangat substantif, yaitu karena birokrasi adalah "jantungnya" negara. 

Ketika jantung sakit, maka yang lainnya pun ikut sakit. Itu artinya bahwa birokrasi merupakan dasar dari pembangunan dalam satu wilayah, sehingga secara teoritis adalah kebohongan besar perubahan itu akan tercipta meskipun dengan berbagai dalil dan narasi kampanye yang meyakinkan manakala birokrasi itu dipenuhi dengan berbagai patologi. 

Simpelnya bahwa jika birokrasi itu baik, maka pembangunan pun pasti akan baik, begitu juga sebaliknya.

Harapan besar terhadap perubahan daerah, khususnya terhadap masalah klasik birokrasi melalui Pilkada begitu tinggi, sebab hanya melalui Pilkada, pergantian pemimpin secara konstitusional itu dilakukan, maka secara otomatis pula Pilkada itu akan memboncengi ekspektasi publik terhadap perubahan daerah itu sendiri. 

Semua wilayah daerah tingkat II di negeri ini selalu meletakkan urusan birokrasi sebagai core value dalam visi misi para pemimpin di daerah, yang selanjutnya dituangkan dalan RPJMD serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)nya. 

Bahkan Presiden tidak henti-hentinya mengingatkan perihal pola kerja birokrasi kepada seluruh institusi pemerintah baik institusi vertikal maupun institusi horizontal. Hal tersebut menunjukan bahwa urusan birokrasi merupakan focus of interest dalam setiap kebijakan publik.

Siapa Pemimpin yang Mampu Menjemput Reformasi Birokrasi?

Penulis mencoba merumuskan satu pola pikir (rumusan) untuk menentukan pemimpin seperti apa yang berpotensi mampu menjemput acceleration of bureaucracy reform di daerah tingkat II sebagai perwujudan konkrit dari RPJMDnya melalui ilustrasi berikut ini: 

Karena Pilkada merupakan agenda pergantian pemimpin lima tahunan, maka pada rumusan tersebut penulis meletakkan smart leader sebagai komponen utama dalam menjemput akselerasi reformasi birokrasi. 

Mungkin saja kita sudah sangat bosan mendengar kata tersebut, namun smart leader yang dimaksud dalam rumusan tersebut bukan terminologi umum yang sudah lumrah dinarasikan di berbagai wadah, smart leader yang dimaksud adalah pemimpin yang berani mengambil terobosan yang cerdas dalam birokrasi yang dia pimpin untuk merubah nilai, budaya, dan tradisi yang sudah tidak cocok dengan kondisi sosial masyarakat saat ini (debudayanisasi). 

Harus diakui bahwa banyak pemimpin di level daerah mengaku sudah reformed, padahal perwujudan reformed itu bukan berada pada tataran pengakuan, melainkan berada pada tataran output, outcome, dan terutama impact kepada kelompok sasaran.

Apa yang harus dilakukan dalam situasi ini? Jika proses Pilkada telah menentukan pemimpin terpilih, maka pemimpin tersebut harus memiliki reform minded dalam setiap nafas kinerjanya.

Tiada hari tanpa melakukan pembenahan dalam rangka menyelaraskan pola pikir birokrasi modern dengan kehidupan sosial masyarakat, agar birokrasi itu menjadi responsif terhadap setiap urusan publik.

Ketika seorang leader selalu memiliki reform minded dalam benaknya, maka terobosan inovatif itu pasti akan melekat pada dirinya, situasi ini akan memunculkan iklim baru dalam birokrasi sebagai dasar perubahan menuju akselerasi reformasi birokrasi itu sendiri. Sementara untuk merawat dua determinan diatas, harus di-back up melalui sebuah komitmen yang baik dari seorang leader, itulah yang disebut dengan political will.

Tidak berhenti sampai pada fase smart leader, hal yang paling penting setelah fase tersebut adalah seorang leader harus memiliki kemampuan mengelola konflik (manajemen konflik) dan mengelola political game dengan baik. 

Mengapa harus ada kata "konflik" disitu?, karena orientasi dari semua itu adalah "perubahan" (lihat gambar I), sementara tidak ada perubahan tanpa konflik (Dwiyanto 2016).

Bayangkan untuk merubah budaya birokrasi yang apatis (konservatisme), terobosan-terobosan dari seorang leader pasti akan mengganggu kelompok-kelompok dalam birokrasi yang sudah nyaman dengan standarnya masing-masing, dengan demikian pada akhirnya pasti akan menimbulkan reaksi berupa resistan terhadap perubahan tersebut.

Di sinilah konflik pasti terjadi, maka seorang leader harus memiliki kemampuan mengelola konflik untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana. Itu artinya bahwa konflik itu adalah sebuah keniscayaan dalam perubahan, sebab hanya melalui konflik itulah pintu masuk perubahan akan terlihat dengan baik.

Justru jika implementasi reformasi birokrasi "adem ayem" saja, penulis khawatir jangan-jangan program reformasi birokrasi yang telah direncanakan melalui RPJMD/RPKD itu tidak dijalankan sama sekali sehingga dianggap tidak mengganggu bad governance yang terjadi selama ini.

Jika konsistensi pemimpin teruji dalam melaksanakan berbagai polarisasi tersebut, maka proses tersebut akan menghilangkan resistan terhadap ide dan gagsan baru dalam melakukan perubahan secara akseleratif.

Lantas bagaimana perwujudan teknis antara pemimpin dengan terobosan yang dilakukan, sampai mencapai fase akselerasi reformasi birokrasi itu?

Penulis telah merumuskan tiga fase konseptual dari deskripsi dua gambar diatas yang terbilang sangat sederhana untuk dilakukan oleh seorang leader dalam menjemput akselerasi reformasi birokrasi melalui tabel di bawah ini :

fase reformasi birokrasi
fase reformasi birokrasi
Ketiga fase tersebut merupakan aksi konseptual dari perwujudan rumusan pada gambar I dan gambar II yang telah penulis rumuskan dalam rangka menjemput akselerasi reformasi birokrasi melalui Pilkada sebagai pintu masuknya. Menurut penulis, rumusan tersebut juga menjadi yang sama dengan daerah tingkat II lainnya di Indonesia.

Bagaimana Tantangannya?

Sementara tantangan terbesar dalam fase ini adalah faktor eksternal, yaitu munculnya aktor eksternal yang akan mempengaruhi jalannya reformasi birokrasi atas dasar "balas budi" antara seorang leader dengan aktor eksternal, itulah yang disebut dengan faktor politis.

Pada posisi ini, seorang leader biasanya memiliki beban politis dari sebuah kepentingan tertentu yang akan mengganggu komitmennya dalam menerapkan visi misi seorang kepala daerah. 

Pada posisi ini pula, sangat penting seorang pemimpin pada level daerah memiliki kemapuan poltical game dalam mengendalikan beragam faktor politis yang secara otomatis pasti akan terjadi. 

Pada akhirnya, semua itu akan kembali kepada political will yang dimiliki oleh seorang leader dalam mensiasati berbagai faktor yang akan menghambat munculnya terobosannya itu sendiri.

Heri Kurniawansyah HS, Dosen Fisipol UNSA.
Heri Kurniawansyah HS, Dosen Fisipol UNSA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun