Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Selesai Menjabat, Korupsi Menjerat, Inilah Analisis Saya

7 September 2023   08:55 Diperbarui: 8 September 2023   07:00 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Kursi Kepala Daerah. (Sumber: KOMPAS/TOTO S)

Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. 

ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 -- Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. 

Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. 

Ketika itu, ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). 

Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 -- 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode dikutip dari antikorupsi.org


Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bagaimana jabatan sebagai seorang Kepala Daerah, sangat berpotensi dan rawan tergelincir dalam gurita korupsi. Karena memang, kewenangan yang besar di miliki seorang Kepala Daerah, dalam pengelolaan keuangan Negara yang dibebankan pada daerah. 

Sehingga bila tidak hati-hati selama dalam menjabat, maka potensi untuk menghalalkan segala cara, guna menutup mahar politik dan jual beli suara tadi, menjadi titik rawan bagi Sang Kepala Daerah.

Terkini, satu persatu Kepala Daerah, entah itu Bupati, Walikota maupun Gubernur meninggalkan rumah dinasnya. Selesai sudah pengabdian mereka selama 5 tahun atau 10 tahun bagi yang menjabat dua periode jabatan. 

Beragam cara dilakukan saat menunggu detik-detik habisnya masa jabatan mereka tersebut. Selebihnya, apa yang telah mereka perbuat, akan menjadi bagian dari sejarah kepemimpinan mereka. 

Apakah berhasil menjalankan program-programnya, biasa saja atau malah meninggalkan jejak permasalahan hukum. Sebab, acapakali, permasalahan hukum ini, dalam konteks abuse of power adalah tindak pidana korupsi, seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Mengapa demikian? Analisisnya seperti ini:

Pertama, pada saat menjabat, para bawahan Sang Kepala Daerah masih ewuh pekewuh, atau masih segan untuk membuka "aib" atau bentuk penyalahgunaan wewenang. 

Baru setelah tidak menjabat, tidak ada lagi perasaan tersebut dan tanpa tedeng aling-aling, langsung dibuka modusnya, baik kepada pejabat baru atau kepada pihak berwenang.

Kedua, pejabat yang baru dipastikan akan "membuka" jaring-jaring Kinerja pejabat lama, sehingga berpotensi terbukanya "titik lemah" yang digunakan sehingga memunculkan abuse of power tadi. 

Tinggal bagaimana pejabat lama, akan diam atau istilah "mendhem jero", atau dengan tangan orang lain, membongkar praktik-praktik yang bernuansa korup tadi.

Ketiga, adanya pejabat yang mempunyai "hobi" mencari muka pada pejabat baru, agar bisa memeroleh jabatan, dengan menyampaikan "fakta-fakta" abuse of power rezim sebelumnya yang melibatkan pihak-pihak internal maupun eksternal.

Misalnya, dalam penyediaan barang dan jasa pemerintah, akan dibuka secara gambling, bagaimana proses lelang, adanya "pungutan" dari proses lelang tersebut dan sebagainya modus yang akan disampaikan kepada pejabat baru.

Keempat, eks pejabat Kepala Daerah tadi, selama menjabat mempunyai jaringan yang kuat, sehingga bisa "menyembunyikan" fakta-fakta korupsi yang dilakukan.

Namun, setelah tidak menjabat, jaringan tadi melemah dengan sendirinya, sehingga akan terbaca baik oleh penegak hukum maupun bekas bawahannya, sehingga berada dalam posisi yang rentan untuk diciduk KPK, Kejaksanaan atau Kepolisian yang berwenang dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.

Kelima, adanya pejabat di bawah eks kepala daerah yang belakangan tertangkap karena kasus korusi dan fakta aliran dana, mengalir juga ke eks kepala daerah tersebut, baik secara langsung ataupun melalui tangan kanan atau pihak yang menjadi kepercayaan eks kepala daerah selama menjabat. 

Sehingga, mau tidak mau harus mempertanggungjawabkan, meski sudah tidak menjabat lagi. Karena, penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan locus dan tempus kejadian, bukan pada orang peroranganya. Sangat mungkin eks Kepala Daerah sudah tidak menjabat, namun perkara saat ia menjabat lima atau sepuluh tahun kemudian baru terungkit dan muncul sebagai fakta korupsi.

Keenam, adanya dendam kesumat pihak-pihak tertentu baik mantan anak buah maupun pihak lain yang sengaja menyimpan "kartu-as" korupsi eks Kepala Daerah dan diniatkan akan dibuka setelah lengser dari jabatan. 

Maksud dari perbuatan seperti ini adalah ingin memberikan pelajaran kepada eks Kepala Daerah tadi, agar merasakan bagaimana menjadi pihak yang "tersakiti", di saat menjalani hari hari setelah jabatan tidak lagi di pundaknya.

Berdasarkan analisis ini, maka tentu saja akan menjadi sebuah harapan yang baik ditujukan kepada para Kepala Derah yang selesai jabatannya, kemudian beralih pada profesi atau kegiatan lainnya, benar-benar lepas dari permasalahan hukum, sehingga tidak menjadi hambatan dalam menikmati hari-hari pascaselesai jabatan tadi. 

Berhadapan dengan masalah hukum, terlebih masalah korupsi setelah tidak lagi menjabat, menjadi sebuah tragedi hidup mantan pejabat, sehingga pesan yang ingin disampaikan melalui artikel ini : Jangan karena ambisi, memanfaatkan jabatan untuk menambah kekayaan dengan cara korupsi.

Semestinya, dipahami dan terdoktrin pada Sang Kepala Daerah saat menjabat, bila tidak ingin berurusan dengan masalah korupsi selama masa jabatan atau di akhir jabatannya mengingat pada asas hukum ini : Gouverner c' est prevoi-menjalankan pemerintahan berarti melihat ke depan dan menjalankan apa yang harus dilakukan. 

Menjalankan apa yang harus dilakukan, tentunya menjalankan roda pemerintah dengan mengelola keuangan negara untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Inilah yang kadang menina bobokan, atau membuat lalai.

Seolah jabatan menjadi sumber untuk mewujudkan ambisi pribadi, dengan mengabaikan rambu-rambu hukum, yang tentu saja dimengerti dan dipahami, meskipun background atau latar belakang pendidikan bukan dari hukum.  

Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan, tapi tidak demikian halnya ketidatahuan akan hukum- ignorantia excusatur non juris sed facti.

Salam Anti Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun