Foto: Dokumen Pribadi
Mbah Sipu. Begitu warga perumahan di sekitar Pisma Griya Asri, Denasri Batang, memanggil beliau. Usainya sudah mendekati 90 tahun. Dengan membawa keranjang berisi krupuk yang sudah dikemasi dalam plastik, perempuan yang dikaruniai 6 orang anak tersebut keliling komplek perumahan menjajakan krupuknya tersebut. Langkahnya pelan dan suaranya pun lirih. Krupuk, krupuk, krupuk. Krupuk bu, krupuk. Begitu suaranya.
Mbah Sipu sempat mampir di depan rumah. "Krupuk Pak ..." Begitu Mbah Sipu menawarkan.
"Iya Mbah. Sini duduk dulu,"
Saya tahu Mbah Sipu berkeliling menawarkan kerupuk sudah beberapa tahun yang lalu, dan dipastikan akan mampir ke rumah saya. Tidak tega bila tidak membelinya. Maka : pasti saya beli, walau saya dalam posisi mengurangi konsumsi gorengan, termasuk warga di rumah saya.
Di dampingi istri saya, Mbah Sipu mengisahkan dirinya yang kini tinggal bersama salah satu anaknya.
"Mbah ikut sama anak sing paling sugih" Ucapnya dengan nada bergetar dan bahasa Jawa, artinya Mbah ikut bersama anaknya yang paling "sugih". Frasa paling "sugih", sebenarnya sebuah kias. Karena arti yang dimaksud Mbah Sipu adalah anak yang paling "miskin" dari ke lima saudaranya. Mbah Sipu tidak mau menyebut kata miskin untuk anaknya karena pamali. Ucapan Ibu pada anaknya adalah doa. Maka, itulah yang diucapkan Mbah Sipu.Â
Foto: Dokumen Pribadi
Memang begitu kebiasaan orang Jawa, yang sudah tua alias sepuh, senantiasa menghindari frasa kata atau kalimat negatif untuk anak-anak-nya, karena diyakini  sebagai doa.