Kami duduk lama. Tak ada target. Tapi satu demi satu gagasan muncul dari sela obrolan santai. Tentang rasa bosan bekerja pada orang lain.Â
Tentang keinginan meninggalkan sesuatu. Tentang label kopi sendiri, Lembaga Pelatihan sederhana untuk anak-anak muda yang kami bayangkan bukan sekadar pelatihan, tapi jembatan bagi anak-anak dari keluarga seperti kami dulu,yang ingin naik kelas,bahkan keinginan membangun pabrik kecil di kampung halaman,semua terlontar seperti percikan api kecil di tengah dingin pagi.
Lucunya, kami tak saling menertawakan. Tak ada yang merasa terlalu tua untuk bermimpi.
Kami malah mengangguk, saling mendengarkan, dan diam-diam mulai menghitung hari.
Ada semacam energi yang tak bisa dijelaskan saat berbicara dengan teman lama.Â
Mereka tidak menilai dari pencapaian, tidak membandingkan karier, tidak menyentil kegagalan.Â
Mereka hanya hadir,dan dengan kehadiran itu, kita merasa cukup.
Di usia yang tak muda, kami tidak sedang mengejar kaya. Kami hanya ingin tetap merasa hidup.
Membangun usaha kecil dengan rasa, memberi ruang belajar untuk yang muda, dan merancang sesuatu yang bisa tetap tumbuh bahkan saat kami sudah tak ada.
Dan pagi itu, kopi bukan lagi sekadar minuman.
Ia jadi medium pengikat. Penanda. Pembuka cerita baru.
Terlambat Muda, Tapi Belum Terlambat MulaiÂ
Kini aku tahu, obrolan paling serius kadang dimulai dari pertemuan yang tidak disengaja.