Teaser
Expo 2025 di Osaka bukan sekadar pameran dunia. Di sinilah 150 negara merancang masa depan umat manusia---dengan kecerdasan buatan, kota terapung, dan maskot aneh bernama Myaku-Myaku. Siapkah dunia yang akan datang itu kita tinggali?
Myaku-Myaku dan Mimpi Dunia Baru dari Osaka
"Manusia tak hanya hidup untuk hari ini, tapi juga membangun esok yang tak mereka lihat." -- Pepatah Jepang
Di tengah hiruk-pikuk Osaka, antara bulan April hingga Oktober 2025, dunia berkumpul. Expo 2025 bukan hanya pameran teknologi, melainkan arena penciptaan ulang visi kehidupan manusia. Dengan tema besar Designing Future Society for Our Lives, lebih dari 150 negara menyumbangkan ide, teknologi, dan budaya untuk membentuk masa depan.
Salah satu simbol ikonik dari perhelatan ini adalah Myaku-Myaku---maskot aneh berbentuk sel hidup dengan mata besar merah dan tubuh cairan biru. Meski sempat viral karena bentuknya yang "menakutkan", Myaku-Myaku menjadi metafora tentang kehidupan yang terus mengalir dan berubah. Seperti masa depan, ia tak bisa dibingkai satu bentuk tetap.
Expo ini menghadirkan berbagai zona tematik: dari zona AI dan robotika, energi hijau, hingga arsitektur kota berkelanjutan. Di Pavilion Indonesia, misalnya, ditampilkan konsep Nusantara sebagai ekosistem masa depan berbasis komunitas dan harmoni dengan alam. Paviliun negara-negara Nordik fokus pada desain minimalis ramah lingkungan dan mobilitas cerdas.
Dunia tak lagi hanya pamerkan teknologi. Expo 2025 menyoroti manusia: cara kita hidup, bermimpi, dan bertahan di tengah krisis planet. Osaka menjadi panggung bagi ide-ide yang barangkali belum akan kita rasakan dalam lima tahun, tapi akan mempengaruhi hidup anak cucu kita.
Masa Depan Tak Lagi Soal Teknologi, Tapi Soal Nilai
 "Kita mengira masa depan dibangun oleh chip dan satelit. Tapi ternyata ia dimulai dari etika dan empati."
Saat dunia berkumpul di Expo 2025, satu hal menjadi jelas: teknologi bukan lagi pusat dari segalanya. Di tengah krisis iklim, konflik geopolitik, dan kesenjangan digital, masa depan lebih ditentukan oleh nilai-nilai yang kita pegang. Inilah yang membuat Expo kali ini lebih filosofis dibandingkan sebelumnya.
Studi dari WIPO dan UNESCO mencatat bahwa 72% proyek di Expo 2025 Osaka bertema "konektivitas sosial dan keberlanjutan." Artinya, negara-negara tidak lagi berlomba pamer AI tercanggih, melainkan sistem pendidikan masa depan, rekayasa pangan lokal, dan tata kelola air di kota-kota ekstrem. Jepang sendiri mengusung kota terapung dan rumah bertenaga air hujan sebagai bagian dari proyek percontohan.
Analis budaya digital seperti Hiroshi Ishii dari MIT menekankan pentingnya pendekatan transdisiplin dalam membangun masa depan. "Tak bisa hanya dari insinyur atau menteri, kita butuh seniman, ibu rumah tangga, petani, dan anak-anak untuk membentuk dunia yang adil," katanya dalam diskusi panel di Osaka Bay.
Expo 2025 menjadi titik balik cara pandang global. Pameran dunia yang dulunya ajang hegemoni teknologi kini berubah menjadi forum etika global. Semua orang mulai sadar: masa depan bukan soal gadget, tapi tentang siapa kita sebagai manusia.
"Dan saat nilai jadi pusat, kita mulai membangun bukan hanya gedung, tapi harapan."
Apakah Kita Siap Tinggal di Masa Depan yang Kita Bangun?
"Semua orang ingin mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir mengubah dirinya sendiri." -- Leo Tolstoy