Banyak orang tampak percaya diri di media sosial, tapi diam di ruang rapat atau ketika bicara dengan orang terdekat. Kita hidup di zaman ekspresi bebas, tapi tak semua orang punya akses untuk menyuarakan pikirannya dengan utuh.
"Aku sering kalah bukan karena tak punya jawaban---tapi karena tak tahu harus mulai dari mana."
Kalimat ini pernah saya ucapkan dalam hati, berkali-kali, setiap kali debat kelas dimulai atau saat HRD bertanya: "Ceritakan tentang dirimu." Padahal, di kepala saya ada puluhan kalimat yang menunggu keluar. Tapi bibir ini seperti dicekal rasa takut, malu, dan kebingungan.
Sekolah Mengajarkan Jawaban, Bukan Mengelola Gagasan
Kita tumbuh di sistem pendidikan yang fokus pada menjawab soal, bukan merangkai gagasan. Anak-anak diajarkan menghafal rumus, bukan membangun narasi atau berbicara di depan umum. Tak heran, saat mereka masuk ke dunia kerja atau forum sosial, banyak yang bingung menyampaikan ide meski sebenarnya punya isi kepala yang kaya.
Menurut riset dari Indonesia Mengajar (2023), hanya 27% siswa merasa percaya diri berbicara di ruang publik. Selebihnya memilih diam, bahkan saat punya gagasan. Ini bukan soal malas bicara, tapi kurangnya ruang latihan untuk berpikir runtut, menyampaikan isi hati, dan bertahan dalam dialog sehat. Kita tak kekurangan isi kepala---kita kekurangan pelatihan untuk mengungkapkannya.
Media Sosial Memberi Panggung, Tapi Tak Menyediakan Mik
Ironisnya, di tengah era TikTok, X (Twitter), dan podcast, justru semakin banyak orang muda yang merasa kehilangan kata. Media sosial membuat semua orang harus berbicara, tapi tidak semua orang disiapkan untuk itu. Akibatnya, kita lebih sering ikut tren dan menyuarakan yang viral, bukan yang benar-benar kita rasakan.
Menurut survei Katadata Insight Center (2024), 6 dari 10 Gen Z merasa takut di-judge saat mengutarakan pendapat jujur mereka secara online. Ini menandakan bahwa walau panggung terbuka lebar, kebebasan ekspresi tetap terhalang oleh ketakutan: disalahpahami, dibully, atau diabaikan.
Perlu Ruang Aman untuk Belajar Bicara dan Mendengarkan
Solusinya bukan menyuruh orang untuk lebih berani saja. Kita butuh sistem---baik di pendidikan, ruang kerja, maupun komunitas---yang memberi ruang aman untuk berlatih bicara, berdebat sehat, dan mengungkap rasa tanpa takut dipermalukan.
Program seperti Speaking Club, mentoring menulis, hingga komunitas dialog reflektif seperti Kelas Isola atau Sekolah Pemikiran Islami sudah mulai membuka jalan. Tapi ini belum jadi budaya. Kita masih hidup di masyarakat yang menganggap diam sebagai lemah, padahal kadang diam adalah jeda sebelum seseorang menemukan kata yang tepat.
Tak semua orang diam karena tak punya isi kepala. Kadang, mereka hanya butuh satu orang yang mau mendengar tanpa menghakimi. Sebab sering kali, yang paling kita butuhkan bukan panggung, tapi pendengar yang sabar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI