Mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono Divonis 10 Tahun
Penjara atas Kasus Gratifikasi
Jakarta, 21 Juni 2025 Mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Andhi Pramono, resmi
divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan ini dibacakan setelah Andhi Pramono terbukti
secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi selama menjabat di lingkungan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Vonis ini merupakan penutup dari serangkaian persidangan yang mengungkap praktik-praktik
korupsi di instansi pemerintah. Majelis hakim menyatakan Andhi Pramono terbukti
melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Selain pidana badan, Andhi Pramono juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar.
Jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama
enam bulan.
Total gratifikasi yang diterima Andhi Pramono selama masa jabatannya terbilang fantastis,
mencapai Rp 58.974.116.189. Dana tersebut berasal dari berbagai pihak yang memiliki
kepentingan terkait pengurusan kepabeanan impor. Rincian penerimaan gratifikasi ini tidak
hanya dalam bentuk mata uang rupiah, tetapi juga dalam mata uang asing. Tercatat, Andhi
Pramono menerima uang sebesar $264.500 dalam pecahan Dolar Amerika Serikat dan
$409.000 dalam pecahan Dolar Singapura.
Putusan majelis hakim ini tidak jauh berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya meminta agar Andhi Pramono
dijatuhi hukuman 10 tahun dan tiga bulan penjara. Hal ini menunjukkan konsistensi dalam
upaya pemberantasan korupsi, terutama di lembaga-lembaga yang rentan terhadap praktik
suap dan gratifikasi
Kasus Andhi Pramono menjadi pengingat penting bagi para pejabat publik akan konsekuensi
hukum yang serius bagi tindakan penyalahgunaan wewenang dan penerimaan gratifikasi.
Keberanian pengadilan dalam menjatuhkan hukuman setimpal diharapkan dapat memberikan efek jera dan mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih bersih dan
transparan.
Peran Andhi Pramono Dalam Kasus Gratifikasi
Dalam kasus gratifikasi yang menjeratnya, peran utama Andhi Pramono adalah sebagai
penerima gratifikasi selama ia menjabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Lebih spesifik lagi, perannya mencakup:
1. Penyalahgunaan Wewenang sebagai Pejabat Bea dan Cukai: Sebagai seorang pejabat di
Bea Cukai, Andhi Pramono memiliki kewenangan terkait pengurusan kepabeanan ekspor dan
impor. Ia diduga memanfaatkan posisi dan kewenangannya untuk mempermudah urusan para
pengusaha, yang kemudian memberikannya imbalan berupa gratifikasi. Hal ini melanggar
etika dan aturan sebagai pejabat publik.
2. Menerima Gratifikasi dalam Berbagai Bentuk: Andhi Pramono terbukti secara sah dan
meyakinkan menerima gratifikasi dengan total fantastis mencapai Rp 58.974.116.189.
Gratifikasi ini tidak hanya dalam bentuk mata uang rupiah, tetapi juga dalam bentuk mata
uang asing, yaitu Dolar Amerika Serikat dan Dolar Singapura. Hal ini menunjukkan pola
penerimaan yang sistematis dari berbagai pihak.
3. Melakukan Praktik Perantara/Broker: Beberapa sumber menyebutkan bahwa Andhi
Pramono juga berperan sebagai "broker" atau perantara. Ia diduga menghubungkan para
pengusaha yang memiliki kepentingan dalam pengurusan ekspor-impor dengan oknum di
lingkungan Bea Cukai, dan dari kegiatan tersebut ia menerima "fee" atau imbalan yang
merupakan bentuk gratifikasi.
4. Menyembunyikan dan Menyamarkan Aset: Kasus ini juga terindikasi melibatkan tindak
pidana pencucian uang (TPPU). Andhi Pramono diduga menyembunyikan dan menyamarkan
asal-usul aset harta benda yang diduga berasal dari hasil korupsi. Hal ini terlihat dari
penyitaan sejumlah aset mewah seperti rumah, ruko, dan mobil oleh KPK.
Singkatnya, peran Andhi Pramono adalah sebagai pihak yang secara aktif menerima sejumlah
besar gratifikasi dari para pengusaha yang memiliki kepentingan terkait urusan kepabeanan,
dengan memanfaatkan jabatan dan wewenangnya di Bea Cukai, serta berupaya
menyembunyikan hasil kejahatannya. Perannya ini berujung pada vonis hukuman penjara dan
denda yang besar.
Bukti-bukti Kunci dalam Kasus Gratifikasi Andhi Pramono
Dalam kasus yang menjerat mantan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono, Majelis
Haki memutuskan vonis 10 tahun penjara berdasarkan bukti-bukti yang terbukti secara sah
dan meyakinkan di persidangan. Bukti-bukti ini krusial dalam membuktikan penerimaan
gratifikasi senilai fantastis Rp 58.974.116.189. Berdasarkan informasi yang ada, jenis-jenis
bukti yang kemungkinan besar diajukan dan dipertimbangkan dalam persidangan meliputi:
1. Bukti Transaksi Keuangan dan Aliran Dana
Ini adalah inti dari kasus gratifikasi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kemungkinan besar mengajukan:
Rekening Bank: Rekening milik Andhi Pramono, anggota keluarganya, atau pihak-pihak
terkait yang menunjukkan adanya setoran dana dalam jumlah besar secara tidak wajar, baik
dalam mata uang Rupiah maupun mata uang asing ($264.500 Dolar AS dan $409.000 Dolar
Singapura).
Catatan Transfer: Bukti transfer dana dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan terkait
pengurusan kepabeanan impor kepada Andhi Pramono atau pihak yang berafiliasi dengannya.
Analisis Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM): Laporan dari Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengidentifikasi adanya transaksi keuangan
janggal yang tidak sesuai dengan profil atau penghasilan resmi Andhi Pramono sebagai
pejabat negara.