Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbahagialah Kita ketika Anak Jadi Bonsai

14 Desember 2015   07:53 Diperbarui: 14 Desember 2015   09:03 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa kita sadari keberhasilan kita membentuk anak sebagaimana kita inginkan sesungguhnya membonsai anak kita. Ia tidak bisa bertumbuh secara alami. Tampaknya kita ingin membuat anak kita seperti kita inginkan. Kita anggap bahwa kita tahu segalanya. Kita mengerudungi anak dengan baju kepercayaan tertentu. Kita anggap bahwa nantinya anak juga mengikuti jejak kita saat dewasa. Kita lupa bahwa bonsai yang indah hanya bagi pandangan kita. Bonsai bisa menghiasi ruangan tamu kita. Tetapi, pernahkah kita memikirkan bahwa si bonsai sama sekali tidak memiliki kebebasan bertumbuh?

Saat kita sekolah, kita tidak berhasil menggapai cita-cita kita karena terbentur kemampuan dana. Keinginan itu demikian kuat berada dalam pikiran kita. Suatu cita-cita tidak tercapai akhirnya diteruskan pada anak kita. Misalnya dahulunya kita ingin menjadi dokter. Namun akhirnya gagal. Setelah kita dewasa dan berhasil dalam kehidupan, harta benda kita miliki, saat anak mau kuliah kita memaksakan akan masuk di Fakulitas Kedokteran agar kelan jadi dokter. Dalam bayangan kita, seorang dokter pasti sukses. Padahal anak kita sesungguhnya memiliki bakat lain. Bisa saja si anak akhrnya menjadi seorang dokter, tetapi jiwanya tidak pada tempatnya. Ia menderita karena ulah kita. 

Dalam hal kepercayaan juga begitu. Kita mengirimkan anak kita sekolah sesuai dengan kepercayaan kita. Dalam anggapan kita, kepercayaan yang selama ini kita anut adalah paling baik. Sehingga anak pun harus sama dengan keyakinan kita. Kita membentuk jiwa aak seperti yang kita pikirkan. Kita lupa bahwa anak lahir karena suatu kebutuhan. Pembebasan jiwa. Kita tidak tahu kebutuhan si anak. Alam lebih tahu. Mungkin ada yang beralasan, ia tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

Memang kita tahu? Siapa kita yang bisa tahu kepentingan anak lahir di bumi. Kita lupa bahwa dalam pikiran anak sudah ada ukiran memori masa lalu. Anak kita bukan lahir tanpa memor masa lalu. Kita harus belajar dari pengalaman kita sendiri. Dari pengetahuan yang bisa kita baca, dengan bekal itu pula kita perlakukan anak kita.

Anak kita bukanlah milik kita yang bisa kita lukis atau warnai sesuai keinginan kita.Anak kita lahir malalui kita. Ia bukanlah miliki kita. Jangan lupa, anak kita memiliki visi dan misi sendiri di dunia. Kita tidak bisa memaksakan visi dan misi kita sendiri. Pikiran si anak bukanlah seperti kertas kosong yang bisa lukis semau kita. Pertanyaannya, seharusnya bagaimana?

Ibarat kita menanam pohon. Kita berikan pupuk dalam jumlah yang secukupnya. Bila kita memberikan pupuk yang terlalu banyak, akhir pohon malahan mati. Demikian juga saat kita menyirami. Siramlah tanaman pohon kita secukupnya sesuai kebutuhannya. Air yang terlalu banyak juga tidak membuat pohon jadi subuh, bahkan bisa mati. Air dan pupuk bagaikan harta benda dunia. Jika berikan pada anak dalam jumlah berlebihan justru membunuh kreativitas anak.

Pohon yang kita tanam juga harus kita jaga dari tumbuha liar. Jika ada tumbuh liar yang bisa membahayakan poho tanaman harus kita pangkas demi pohon kita. Pengaruh buruk yang secara umum dianggap berbahaya juga harus dijauhkan dari anak. Tanpa kita sadari sering kita membiarkan anak menonton televisi yang tidak sesuai umurnya. Kita membiarkannya agar tetap tenang tidak nangis. Tanpa disadari segala informasi terserap dalam memori anak. Bukankah segala yang tertangkap oleh panca indra tetap tersimpan dalam memori? Ini hukum alam. Perhatikan saja, saat kita membentak anak, rasa sakit hati anak pada kita tetap tersimpan. Kita mengukir sesuatu yang buruk dalam diri anak.

Saya ingat, di India seorang anak dikatakan memiliki keyakinan setelah ia dewasa. Ia memiliki kewenangan memilih setelah dewasa, umur 20 tahunan. Dengan cara ini tidak dipaksakan seorang anak diberikan atribut tertentu sejak kecil. kekerdilan pikiran kitalah yang membuat kita memberikan atribut tertentu pada anak kita.

Semoga kita belajar dari alam. Janganlah membuat anak seperti bonsai yang hanya indah di ruang tamu dan pandangan kita, tetapi jiwanya kerdil tidak tumbuh secara alami.........

Ingatlah, keberhasilan kita membentuk anak SESUAI keinginan kita berarti kegagalan anak menjadi dirinya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun