Burung jalak gading (Turdus sp.) atau populer dikenal masyarakat dengan nama jalak lawu, hidup di Gunung Lawu dan mulai banyak ditemukan pada ketinggian 2.000 m dpl sampai puncak gunung dengan ketinggian 3.265 m dpl.Â
Sampai saat ini, diketahui burung jenis ini hanya dapat ditemui di puncak-puncak gunung. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan pada bulan Mei 2003, populasi burung jalak gading di Gunung Lawu diperkirakan sekitar 90-110 ekor (Budiharjo, 2003). Kecilnya populasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain tekanan kondisi lingkungan, ketersediaan pakan, dan keberhasilan reproduksi (Narris et al, 2004).
Gunung Lawu merupakan kawasan yang saat ini mulai dirintis untuk dijadikan kawasan konservasi. Sebagai salah satu komponen fauna yang hidup di kawasan tersebut, burung jalak gading merupakan salah satu jenis yang perlu diperhatikan kelestariannya.Â
Salah satu aspek yang perlu diteliti sebagai dasar upaya melestarikan burung jalak gading adalah perilaku atau sifat-sifat yang terkait dengan reproduksinya. Diharapkan dari informasi ini, upaya-upaya pelestarian atau penangkaran dapat lebih optimal. Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui pola perkembangbiakan maupun reproduksi burung jalak gading (Turdus sp.) di habitat aslinya, yaitu di Gunung Lawu.
Pengamatan dilakukan dengan penjelajahan di sekitar stasiun pengamatan dengan radius hingga 100 m dari jalur pendakian. Pengamatan dilakukan pada stasiun pengamatan yang terletak pada ketinggian, yaitu 2.600, 2.800, 3.000, 3,100, dan 3.200 m dpl. Penelitian mencakup perilaku bersarang, perteluran, dan kondisi lingkungan.Â
Pengamatan mengenai sarang berupa lokasi bersarang meliputi: ketinggian dari tanah, tempat meletakkan sarang pada pohon, dan jarak posisi sarang dari jalur pendakian. Data mengenai telur meliputi jumlah telur, waktu bertelur, dan jumlah penetasan. Data lingkungan meliputi kelembaban dan suhu (Budiharjo 2005: 272).
Pola reproduksi burung sangat mempengaruhi keberhasilan perkembangbiakan. Pada akhirnya hal ini juga akan berpengaruh terhadap besar kecilnya populasi dan kelestariannya dalam jangka panjang. Beberapa pola reproduksi tersebut, antara lain terkait dengan habitat, perilaku bersarang, waktu yang tepat untuk berkembang biak, jumlah telur per sarang, dan keberhasilan perkembangbiakan (Cramp dan Perrins, 1993).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan burung jalak gading lebih banyak berada pada tempat yang dekat dengan aktivitas manusia. Hal tersebut diperkuat fakta bahwa lebih kurang 90% sarang posisinya berada dalam radius kurang dari 40 meter dari jalur pendakian. Keadaan ini diduga kuat terkait dengan ketersediaan makanan.Â
Ketersediaan makanan burung di Gunung Lawu sangat terkait dengan kondisi musim sehingga pada saat tertentu sumber pakan menjadi terbatas. Di sisi lain, sisa-sisa makanan dari aktivitas manusia di sepanjang jalur pendakian merupakan sumber makanan yang mudah diperoleh burung jalak gading, misalnya mie instan, roti, kue, sayur, lauk, dan nasi. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa burung jalak gading sangat menyukai jenis makanan tersebut (Budiharjo 2003: 273).
Burung jalak gading memiliki perilaku tertentu yang khas dalam berkembangbiakan dengan pada lokasi yang benar-benar dipilih sesuai dengan kondisi yang ada, serta memanfaatkan bahan yang ada di sekitarnya. Sarang terletak di antara percabangan dengan dikelilingi beberapa ranting kecil dan dinaungi dedaunan. Ketinggian sarang antara 0,2-7 m di atas permukaan tanah. Lebih kurang 90% sarang berada dalam radius kurang dari 40 m dari jalur pendakian. Bahan sarang didominasi oleh rumput-rumputan dengan campuran daun kering dan ranting kecil.
Sumber :