"Wah, hebat ya, dapat suami bule. Bisa memperbaiki keturunan."
Komentar ini paling sering saya dengar dari orang dan sebagian kenalan lama di Indonesia. Sebetulnya ini agak melecehkan. Tanpa dapat pasangan bule pun kita bisa mendapatkan keturunan yang lebih baik. Kalimat lanjutannya ada lagi, misalnya "kaya, banyak duit, dan lain-lain".
Cara pandang seperti ini tidak hanya di sebagian masyarakat Indonesia, di negara-negara tetangga, dan sebagian masyarakat Cina juga begitu.
Saya biasanya tidak mau panjang lebar membahas dan menanggapi komentar seperti itu, percuma. Mereka akan bertanya lagi, misalnya, "Kenapa saya pilih suami bule, kalau bule itu tidak lebih hebat dari orang Indonesia?"
Iya, memang suami saya bule, tetapi itulah jodoh. Jawaban sederhana seperti itu, tidak akan pernah memuaskan mereka.Â
Kenyataannya memang itulah jodoh saya. Apakah ini ada hubungannya dengan dunia kerja saya dulu, yang selalu berhubungan dengan orang asing, saya tidak tahu. Memang sejak bekerja, saya beberapa kali menjalin hubungan (kebetulan) dengan orang asing. Tetapi mendapatkan suami orang Jerman, tidak pernah ada dalam impian saya.Â
Anak-anak dari pasangan campuran memang terlihat berbeda, tetapi bukan berarti lebih cantik, atau lebih ganteng. Mereka lebih menarik perhatian karena wajah hasil perpaduan dari dua orang tua yang berbeda ras.
Perhatian ini bukan di Indonesia saja. Di Jerman misalnya, anak-anak campuran juga dikagumi kemolekannya. Bedanya, di sini orang menganggap semua sama saja, tidak ada ras yang lebih tinggi dari yang lain.
Musim panas sebelum pandemi datang, saya liburan ke negara Turki. Kebetulan di sana saya berjumpa dengan beberapa orang Indonesia, ada yang sedang liburan seperti saya, ada yang tinggal di sana untuk bekerja.
Seseorang dari yang saya kenal ini meminta nomor telepon saya, ingin mengobrol. Katanya dia ingin sekali "mengadu nasib" ke Jerman. Saya tanya dia kenapa berencana pindah ke Jerman. "Mau memperbaiki keturunan," begitu jawabnya.