Hal ini tentu saja dia dapat melalui perjalanan yang tidak mudah, Elisa telah menguji ketrampilannya itu bersama para petani lainnya, dan juga pembudidaya tanaman yang memang ahli dibidangnya.
Elisa kemudian berimajinasi, dan hasilnya dengan berbagai pengetahuan yang dia dapat mencoba untuk dikembangkan lagi, akhirnya dia mampu menemukan cara baru yang ampuh untuk memberi nutrisi saat melakukan pengembangbiakan tanaman melalui cara aquaphonik.Â
Menurutnya, disini penulis memperoleh informasi saat melakukan wawancara bahwa cara barunya ini dibilang tidaklah sulit, hanya kita saja yang harus lebih peka.
Kata Elisa, "kalau tanaman dibiarkan mati, itu berarti kita tidak punya usaha untuk membudidayakannya, Mas. Sebenarnya kita harus lebih peka, apa yang dikarepke (diinginkan) oleh tanaman yang ingin kita tanam, sama seperti halnya manusia, diuwongke (dimanusiakan), diladeni lan diopeni (dilayani dan dipelihara)." Dan akhirnya Elisa mulai membeberkan rahasia mengenai cara pembudidayaan tanamannya itu.
"Ini sebenarnya kuasa Tuhan kok, Mas. Aku hanya mengamatinya," terang Elisa.
Diawali dari keprihatinannya akan pembuangan limbah air lele, dampak pengurasan air lele meluber ke jalan dan aromanya mengganggu. Sementara kebun pisang yang digunakan untuk membuang limbah air ikan lele tampak subur, muncullah ide untuk memanfaatkan air dengan sistem aquaphonik.Â
Dalam waktu yang bersamaan, Elisa juga menanam sistem hidroponik. Karena merasa hasil dari aquaphonik lebih subur, maka Elisa pun membandingkan kedua sistem ini. Dan tentunya keduanya memiliki hasil positif dan negatifnya.Â
Dari kedua cara itu, Elisa kemudian menyimpulkan bahwa sistem aquaphonik lebih ramah lingkungan, hemat biaya perawatan, dan pertumbuhan tanaman lebih sehat dan tebal-tebal.Â
Untuk kendalanya, tentu saja sistem aquaphonik masih manual, dengan memanfaatkan botol bekas. Maka saat panen harus sering memberi air, padahal ada 100 lebih botol aqua.Â