Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"A Man Called Ahok", Panduan Mendidik Anak Bangsa

21 November 2018   13:53 Diperbarui: 1 April 2019   17:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal lainnya yang sering terjadi adalah orang tua yang memang tidak mau terlibat dengan hal-hal yang berhubungan dengan orang banyak, karena dianggap hanya akan merugikan. "Tidak ada keuntungannya, yang ada "keluar chuan terus, mending jangan dekat-dekat mereka". Sudah tidak pernah membicarakan tentang kenegaraan, malah masih meracuni pikiran anak-anak dengan pemahaman seperti ini. Prinsipnya tetap salah, walaupun itu hak. Karena ujung-ujungnya hasil hanya dinikmati sendiri, tidak jarang anak-anak menjadi manja, dingin, tidak berpengertian, dan tidak berani mengambil risiko. Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk menghantam orang kaya seperti paham Marxisme.

Orang tua jaman sekarang terkesan tidak benar-benar menanamkan nilai kebangsaan kepada anak-anaknya. Sudah tidak pernah memberikan didikan kebangsaan, semuanya diserahkan kepada sekolah dasar/ menengah. Dikira dengan cara instan seperti itu semua masalah selesai. Padahal hasil didikan di sekolah dasar dan menengah tak ubahnya hanya sebatas mencari angka di rapot. Guru jaman sekarang sangat kurang sekali kualifikasinya. Tidak banyak inovasi dan mengajar tidak dengan panggilan hati.

Selain sekolah dasar dan menengah, tempat-tempat ibadah katakanlah Masjid, Gereja, Vihara, dsb. Menjadi tempat favorit kedua untuk menitip anak-anak mereka yang mereka sendiri tidak didik dengan baik. Dikiranya sekali lagi, tempat ini boleh mengubah wawasan sang anak menjadi global dan negarawan tanpa dia harus repot-repot mendidik. "Yang penting dititip di sana nanti bisa baik sendiri".

Kampus/ Perguruan Tinggi menjadi tempat selanjutnya di mana orang-orang digodok wawasannya. Namun sepengalaman penulis, tanpa seorang mentor yang tepat mahasiswa yang memiliki wawasan kebangsaan juga sulit dihadirkan. Kenyataannya mahasiswa kebanyakan hanya berdemo untuk persoalan yang dirinya sendiri tidak paham. Sudah tidak paham malah berkoar sekencang-kencangnya. Karena di lingkungan kampus sendiri, berbagai paham dan isme berkembang dengan liar.

Tanpa seorang dosen dan mentor yang tepat, jika anak di atas membawa pemikirannya ke lingkungan kampus pun. Kemungkinan besar juga ujung-ujungnya duit. Sekolah tinggi-tinggi, dapat gelar untuk menakuti keluarga besar atau kerja di perusahaan besar karena gajinya 2 digit, menikah, bangun rumah,  beli kendaraan dsb, lalu tidak terasa diri sudah tua dan tidak lama lagi mati, miris sekali. Bukan kuliah tinggi-tinggi, mempersiapkan diri untuk terjun dalam kesulitan masyarakat, memajukan bangsa dan negara. Spirit melayaninya belum dapat atau melayani tapi kualifikasi kurang.

Penulis sendiri heran selama 20 tahun hidup bersama orang tua, kok bisa betah saja dengan pertanyaan "Ada PR tidak?" "Sudah makan belum? Mama ada masak ..." atau topik-topik remeh temeh lainnya yang berupa kulit saja. Kok bisa betah ya? Ya tidak tahu juga. Walaupun tumbuh menjadi anak yang baik dan bisa hidup lah, tapi pemahaman tentang kenegaraan nol besar.

***

Semuanya berawal dari keluarga, jika tidak memiliki kualifikasi berbicara hal kenegaraan setidaknya didiklah anak dengan wawasan kemanusiaan. Wawasan untuk peduli, simpati, empati, mengerti, bahkan untuk bertindak.

Pemerintah perlu memikirkan lebih jauh bagaimana mendidik orang tua. Karena banyak orang tua yang sebenarnya haus akan dibina. Mengingat lembaga keagamaan juga masih sangat kurang dalam membekali jemaatnya. Pemeriintah tidak bisa hanya menyerahkan semua pada sekolah awal/ menengah, tempat ibadah, kampus, stasiun TV, produk internet (artikel, film, media sosial), dsb. Namun pemerintah harus menjangkau lebih luas.

Dengan cara apa? Mungkin APBN 10% bolehlah dipakai untuk mendidik orang-orang umum. Mengadakan seminar tentang isu-isu sosial-budaya-politik dengan kemasan ringan dengan Bahasa yang sederhana, membumi dan berbobot. Jangkauannya bisa perkecamatan/nama jalan jadi tiap-tiap keluarga mengirim satu orang (entah istri/suami) untuk ikut. Jadi ada kebersamaan di antara kecamatan.

Jangan katakan mereka tidak tertarik, sesungguhnya orang-orang tua butuh wadah seperti ini, mereka merindukannya hanya tidak tahu harus berbuat apa. Mereka yang senantiasa membayar pajak tapi nampaknya kurang diperhatikan. Kampus tidak bisa datang kepada mereka, dan ceremah-ceramah religius hanya masuk tataran doktrin keagamaan. Intinya mereka butuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun