Mohon tunggu...
Hendry Sianturi
Hendry Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

manusia yang miskin wawasan.\r\n"corgito, ergo sum; Aku berpikir maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Resensi Buku: Karni Ilyas, Lahir untuk Berita

15 Februari 2014   18:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13924390121433448197

Sumber Gambar: www.fentyeffendy.com

Kebanyakan masyarakat pernah menontonnya di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan salah satu stasiun TV swasta. Acara yang dahulu bernama Jakarta Lawyers Club (JLC) ini dipandu oleh jurnalis senior yang telah melalang buana dari media satu ke media lainnya. Sosoknya dihormati bukan saja di dunia media, di bidang hukum, pun dipandang tokoh yang dapat memberikan ide dan solusi. Dialah Karni Ilyas.

Kompetensi dalam bidang jurnalis mulanya diperoleh dari hobi dan pengalaman menulis ketika menjadi siswa, sedangkan kompetensi hukum diperolehnya dari dunia kampus. Kolaborasi antara dua ilmu ini pernah mengantarkannya menjadi ‘ahli’ berita-berita hukum di majalah Tempo. Julukan Jabrik Cakum (Penanggung Jawab Catatan Hukum) digenggamnya, posisi prestisius sekaligus posisi menantang karena riskan menghadapi teror dan intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan. Apalagi berbicara tentang hukum –hal mendasar yang dapat men-judge orang- baik benar ataupun salah, penuh dengan risiko. Namun tantangan itu justru mengantarnya menjadi populer di kalangan elite dan masyarakat.

Goenawan Mohamad dalam testimoninya di buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” mengatakan: ”Orangnya cerdas. Saya kira dia banyak mendidik wartawan di Tempo, sehingga mengerti permasalahan-permasalahan seputar hukum.”, secara implisit menggambarkan sosok Karni sebagai pendidik dan pemberi contoh yang baik. Julukan News Hunter dengan metode walk the walk tidak saja menginspirasi jurnalis lainnya, bahkan telah menjadi dasar kerja kebanyakan media mendapatkan berita yang tajam dan hangat.

Buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” menceritakan sepak terjang Karni dari tanah lahir menuju tanah rantau, dari oplah koran menjadi bos koran. Buku ini mengungkapkan, keberhasilan Karni di dunia media didasarkan pada ekspektasinya “ingin terkenal.” Motivasi sederhana yang bernilai wibawa. Motivasi inilah yang terus dipelihara sejak duduk di bangku SMEA hingga menjadi wartawan profesional.

Buku yang ditulis oleh Fenty Effendy ini, menggunakan bahasa ringan namun padat. Dari kalimat-kalimat yang tertuang, kita bisa menebak bahwa si Penulis adalah jurnalis. Buku ini akrab dengan bahasa media, membuat renyah dibaca.

Perjalanan Karni

Lahir di Balingka, Sumatera Barat pada Kamis, 25 September 1952, adalah momen yang kurang sesuai diharapkan oleh setiap pasangan suami-isteri termasuk Ilyas Sutan Nagari dan Syamsinar -pasangan yang melahirkan seorang yang akan menjadi terkenal berkat berita-berita tajamnya, yaitu Sukarni Ilyas- pada saat pemberontakan PRRI pecah di daerah-daerah termasuk Sumatera Barat.

Derita dan pahit hidup sudah dirasakan Sukarni sejak kecil. Pada waktu SD, Sukarni harus menjadi anak piatu karena wafat dini ibunya. Setiap hari dia ke toko jahit tempat ayahnya bekerja karena merasa kesepian di rumah.

Tamat SD, Karni melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri V (jalan Jendral Soedirman sekarang). Ketika SMP dia sering bergaul dengan para kuli, sopir angkot dan tukang parkir. Pada masa-masa itu, dia sudah mulai mandiri dan bekerja sebagai oplah koran. Ia menjajakannya di sekitar terminal angkutan umum Goan Hoat.

Awal tahun 1968, Karni melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) 1 Padang. Ketika itu, pekerjaan pengecer koran dia tinggalkan karena menguras waktu, sementara untungnya pas-pasan. Jadilah ia hanya mendagangkan rokok.  Pernah suatu hari, usaha ayahnya sedang bermasalah dan hidup Karni jadi nomaden. Ia pernah tinggal di rumah Upiak dan Fahmi, teman sekolahnya.

Karni pernah terancam tidak bisa ikut ujian akhir karena tidak punya biaya membayar biaya ujian. Namun temannya, Fahmi membantunya dengan menggadai sepeda Mukhlis, ke tempat penggadaian sepeda. Akhirnya dengan uang itu, Karni bisa ikut ujian akhir dan mendapat nilai paling tinggi untuk mata pelajaran Aljabar (sekarang Matematika).

Pada dasarnya, kecintaan Karni terhadap dunia jurnalis sudah diperlihatkan ketika duduk di bangku kelas 1 SMEA. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Haluan, harian Sumatera Barat.

Tahun 1971, setelah mengantungi ijazah SMEA, Karni berangkat ke Jakarta menaiki kapal mengarungi samudera. Sesampainya di Jakarta, Karni kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik (STP) (sekarang Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik) yang terletak di lalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Semasa kuliah, Karni bekerja menjadi wartawan di media Suara Karya. Karena kesibukannya itu, baru duduk di tingkat dua, dia meninggalkan STP. Tahun 1975, Karni mendaftar di Fakultas Hukum UI karena tertarik pada dunia hukum. Karni menamatkan studi sarjananya selama 9 tahun. Gelar S.H. disematkan di belakang namanya.

Setelah enam setengah tahun bekerja di Suara Karya, ia pindah ke Tempo dan Majalah Forum. Lalu Karni pindah lagi ke dunia pertelevisian. Pertama masuk ke SCTV lalu ANTV. Terakhir, perjalanan karir Karni sebagai pemburu berita (News Hunter), berakhir di TV One, sebagai Pimpinan Redaksi.

Nilai Sari Karni

Ketegasan adalah warnanya. Integritas dan profesionalitas adalah nilai yang dipegangnya. Tawaran-tawaran lebih menggiurkan tak menggoyangkan konsistensinya pada satu bidang. Itulah Karni Ilyas. Loyalitas pada profesinya memang mengorbankan banyak hal termasuk keluarga. Namun Karni memiliki Isteri (Yuli, juga seorang Minang) yang bijak dan tiga anak yang tangguh, sehingga keluarga selalu mendukung pekerjaan Karni.

Setiap media yang dimasuki Karni, selalu berkembang. Di Tempo dia menjadi Jabrik Cakum dan setiap berita hukum yang dikeluarkan Tempo, melalui karya Karni selalu menjadi sorotan. Di Majalah Forum, Karni juga sukses mengembangkan majalah Forum sebagai Pimpinan Redaksi. Pindah ke SCTV sebagai Pemred, Karni juga sukses membawa acara Liputan 6 menjadi Program Berita Terfavorit tiga kali beruntun memperoleh penghargaan Panasonic Award.

Hengkannya Henry Pribadi (Pemilik SCTV ketika Karni bekerja di SCTV) digantikan kakak-beradik Eddy dan Fofo Sariatmadja, membuat Karni juga memilih keluar dari SCTV. Kesetiakawanan dan empati Karni terhadap hengkangnya Henry, ternyata membuatnya mesti pindah ruang kantor. ANTV pun menjadi pelabuhan selanjutnya.

Di ANTV, Karni juga berhasil memprogreskan stasiun TV yang tayang perdana tanggal 1 Januari 1993 ini. Pada  10 November 2005 berita Topik Pagi yang dipimpin Karni, menyiarkan lengkap dan eksklusif penangkapan teroris Dr. Azahari beserta dua teroris lainnya. Seketika rating ANTV naik waktu itu dan menjadi soroton. Setelah diamati lebih lanjut, Karni Ilyas adalah Pimpinan Redaksinya yang baru (hlm. 335). Tahun 2007, Karni Ilyas bergeser ke TV ONE (sama-sama satu pemilik dengan ANTV) menjabat sebagai direktur pemberitaan. Di stasiun ini pula dia sering muncul di televisi lewat acara Indonesia Lawyer Club (ILC).

Dengan loyalitas yang tinggi pada profesi, pemahaman yang baik tentang hukum dan kejujuran yang selalu dipegang teguh, Megawati Soekarno Putri pernah menawarkan jabatan strategis dan prestisius padanya, yaitu Jaksa Agung dalam kabinet Gotong Royong. Dia ditawari oleh Megawati Soekarno Putri, namun Karni menolak karena tidak ada cita-citanya menjadi Jaksa Agung (hlm.327). Alasan yang sedikit konyol itu semakin menunjukkan konsistensi dan integritasnya pada dunia berita.

Wartawan yang mendidik

Barangkali tidak banyak Pemred ataupun wartawan senior yang bisa mendidik wartawan junior. Dari irisan yang sedikit itu, Karni ada di dalamnya. Meski cenderung otoriter dan penuh tekanan, namun didikan Karni tentang dunia wartawan efektif. “Saya belum pernah menemukan orang yang se-passionate dia. Yang namanya bos biasanya hanya memberi instruksi saja. Namun Pak Karni itu ‘walk the walk’. Dia tahu apa yang dikatakannya, mengerti apa yang diperintahkannya karena itu pula yang pernah dilakukannya. Kemarahannya cuma satu, kalau kami gagal menjalankan kerja sebagai jurnalis.” : kata Alfito Deannova (hlm.324).

Karni juga menganggap bahwa wartawan adalah aset bagi perusahaan media. “Kantor berita bukan seperti pabrik yang asetnya adalah mesin dan operator. Harta yang paling berharga bagi kantor berita adalah sumber daya manusianya (Intangible Asset”): kata Karni Ilyas (hlm.323). Karni mengaggap bahwa wartawan baru perlu dididik profesional. Oleh karena itu, selain memiliki jiwa profesionalitas yang baik, ia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang baik.

Menanti Karni yang baru

Konon, kata ‘Su’ telah dibuang dari nama lahirnya (Sukarni) di KM Batanghari, disaksikan Selat Sunda suatu malam di bulan Desember 1971. Tetapi bukan berarti Karni melupakan tanah lahirnya. Pembangunan Bandara Minangkabau di Padang termasuk andil Karni. Mungkin, memenggal nama dan menghilangkannya sebagian adalah bagian transformasinya. Karena hakikatnya, proses transformasi seseorang berbeda-beda.

Kini, Karni Ilyas telah setangguh Mochtar Lubis (wartawan pendiri media Indonesia Raya yang pernah dibrendel oleh rezim orde lama dan orde baru. Lahir di Padang 7 Maret 1922). Barangkali juga sehebat George Will di Amerika. (Ia dijuluki The Most Powerful Journalist in America versi Wall Street).

Buku berjudul “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” patut dikonsumsi bukan saja bagi para jurnalis, tetapi juga bagi masyarakat umum. Buku yang ditulis Fenty Effendy ini menguak tentang keluh dan pilu Karni sebagai anak manusia dalam menggapai cita-cita. Di dalam buku 396 halaman Ini, digambarkan juga bagaimana sepenggal sejarah demokrasi pers dan beberapa scene perjuangan reformasi 1998.

Fenty Effendy telah berhasil meracik pengalaman Karni dengan kalimat yang menyederhana, sehingga tidak ada warna eksklusif untuk menikmati buku ini. Tak bisa disangkal lagi kepiawaian Fenty dalam menggambarkan perjalanan tokoh-tokoh popular dan menuangkannya sebagai buku biografi.

IDENTITAS BUKU:

Judul               : 40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas, Lahir untuk Berita

Penulis             : Fenty Effendy

Penerbit           : Buku Kompas (PT Kompas Nusantara)

Tahun              : 2012

Kota                : Jakarta

ISBN               : 978-979-709-671-7

Hlm                 : xv+396 hlm.

Ukuran           : 15,5 cm x 24 cm

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun