Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anda Pilih Indonesia-nya atau Merah-Putih-nya?

9 Oktober 2014   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:43 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14128436391581157297

[caption id="attachment_328172" align="alignnone" width="823" caption="Ilustrasi oleh Hendri M."][/caption]

Dibalik pun tetap sama: Anda memilih Merah-Putih-nya atau Indonesia-nya? Pertanyaan itu bisa dikembangkan menjadi: Anda memilih negara Indonesia atau bendera Merah Putih?

Sebuah pertanyaan yang konyol tentu saja. Mana mungkin Anda dan saya sesama bangsa memilih hanya negara Indonesia tanpa bendera Merah Putih. Dibalik pun tetap sama, mana mungkin Anda dan saya memilih bendera Merah Putih tanpa negara Indonesia.

Itulah yang saya rasakan sekarang ini, ketika kata "koalisi" dilekatkan pada kata "Indonesia" (plus kata "hebat") dan kata-kata "Merah Putih."

Hati ini serasa disayat. Miris. Karena ketika saya berterus terang pada kawan bahwa saya mendukung salah satu koalisi, sang kawan yang ternyata mendukung koalisi lain segera mempertanyakan pilihan saya. Kenangan pun melayang pada masa kampanye pilpres. Argumentasi saling ditukar. Masih bagus kalau emosi tak terbawa. Maka kini hati saya pun mudah menciut manakala berita-berita di media menyebutkan sikap masing-masing koalisi. Saya pun jadi takut bersuara baik tertulis (di dunia maya) maupun lisan (kepada kawan). Takut terjadi debat yang tak perlu.

Sejak dimulainya kampanye Pemilihan Presiden bulan Juli hingga saat ini ketika pemilihan Ketua Majlis Permusyawatan Rakyat terjadi, saya merasakan aura persaingan antara dua kubu memperebutkan suara pemilih berubah menjadi kental. Mengental menjadi aura permusuhan. Meski tak melibatkan seluruh rakyat dalam suasana heboh politik nasional ini, toh tetap saja saya merasa aura itu di dunia maya. Dengan 40an juta penduduk Indonesia yang memiliki akun Facebook dan 20an juta memiliki akun Twitter, bisa dibayangkan kehebohannya, meski hanya seperlima saja yang aktif.

Dunia maya lebih menakutkan buat saya, karena menjadi ajang lanjutan untuk “berkampanye” atau untuk caci maki kepada pihak lain yang manjadi lawan. Kemudahan berinternet dan banyaknya berita-berita on-line yang terus diperbarui, membuat para anggota grup-grup pendukung masing-masing koalisi terus melancarkan serangan. Berita yang menohok pihak lain segera diunggah disertai pengantar yang mengejek atau bahkan mencaci.

Meski tak seheboh di dunia maya, dunia nyata tetap membutuhkan kewaspadaan agar saya berhati-hati berkata atau beropini. Apalagi sampai mengritik pihak lain. Menjaga lidah menjadi sangat penting. Tak boleh sekali pun kita mengucapkan kata-kata yang akan menyulut api permusuhan, meskipun diniatkan hanya untuk diskusi.

Diskusi antar pihak menjadi barang berbahaya. Diskusi hanya terjadi di dalam satu pihak saja. Bukankah ini sudah tidak sehat lagi?

Saya teringat pada ucapan terkenal Presiden George W. Bush ketika berbicara di depan Kongres AS, “Either you are with us, or you are with the terrorists” (“Hanya ada ini: Anda bersama kami atau Anda bersama teroris”). Sekarang ini, elit politik Indonesia benar-benar terbelah dua. Seolah-oleh para politisi hanya punya dua pilihan: berpihak ke koalisi ini atau ke koalisi itu. Di level menengah dan akar rumput pun begitu, berpihak ke Indonesia atau ke Merah Putih. Seolah-oleh dihadapkan pada pilihan memilih negaranya atau memilih benderanya.

Mungkin kata “hebat” turut berperan mewarnai keberpihakan. Kata yang semula dimaksudkan untuk kampanye atau marketing campaign selama Pilpres, dengan kondisi perseteruan yang terus terjadi, kini memperkental rasa kecintaan pada negara (Indonesia) tetapi sekaligus memperkental rasa ketidak-sukaan dari kelompok bendera kepada kelompok negara.

Mungkin kata-kata saya itu agak lebay. Yang jelas, kata “belah” atau “membelah” diucapkan sekitar sebulan setelah Pilpres oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie. Dia menilai ketegangan pasca Pilpres 9 Juli lalu terjadi karena bangsa Indonesia baru kali ini melalui Pemilu Presiden yang diikuti hanya dua pasang calon. "Dengan adanya dua pasang calon yang bertarung, maka rakyat pun terbelah dua secara politik. Pilpres kemarin membelah dua rakyat yang mendukung calon pilihannya," ujarnya. (Sumber: Gatra.com)

Sekitar dua bulan kemudian, seorang Anggota DPR mengatakan “Pilpres kemarin hampir memecah-belah bangsa ini.” Perkataan ini diucapkan Herman Kadir, seorang Anggota DPR dari Fraksi PAN, sebagaimana disiarkan saluran Berita Satu yang dapat ditonton kembali di sini. Ucapannya itu dalam konteks pandangannya bahwa masyarakat belum siap dengan pilpres langsung.

Itulah yang saya rasakan sekarang ini, bahwa masyarakat seperti dipaksa memihak salah satu. Seolah-olah begitu.

Saya sadar, ini soal politik. Dan sebagai orang awam, saya pun berpaling ke Paman Wiki untuk mencari informasi apa arti kata politik. Kata Paman Wiki, Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Lanjutannya lebih memperjelas: Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Nah kalimat terakhir itu lebih mudah kita pahami bersama. Kita mampu menghindari cara yang nonkonstitusional. Tetapi, cara yang konstitusional mungkin saja dipersoalkan sebagian orang. Sudah terjadi bahwa salah satu pihak dengan jumlah legislatornya yang lebih banyak memanfaatkan jumlah mereka meraih kursi kepemimpinan Dewan dan Majlis. Sampai-sampai ini disebut oleh sebagian pengamat sebagai kemenangan keempat dan kelima, sementara lawannya nol, sehingga posisi menjadi 5-0.

Masyarakat pun jadi terpengaruh dengan berita dan analisa seperti itu. Lagi-lagi masyarakat awam yang tidak berpolitik seperti diajak melihat secara dikotomis. Masyarakat yang sudah memihak pun menjadi kental perasaan keberpihakan mereka.

Bukankah ini perkembangan tidak sehat bagi bangsa ini?

Saya mencoba seadil mungkin saat menulis ini. Dan tujuan saya hanya satu, ingin mengajak siapa saja, Anda semua yang membaca ini, untuk tidak berprasangka pada orang lain, untuk memberi kesempatan pada orang lain berbicara dan didengarkan, dan untuk belajar menaruh rasa percaya pada orang lain.

Selanjutnya, saya mengajak siapa saja, Anda semua yang membaca ini, untuk belajar bersikap sopan dan santun. Tidak hanya dalam bercakap-cakap, tetapi juga dalam menulis status di dunia maya dan berkomentar di sana. Lebih baik tidak usah menulis status atau komentar kalau kita masih merasa kesal pada orang lain atau pihak lain.

Kalaupun sang elit belum bisa membaca ajakan saya ini, biarlah. Saya mengajak teman saya dan kenalan saya saja dulu. Marilah kita memilih negara kita beserta benderanya sekaligus. Marilah menyatukan Indonesia dengan Merah-Putihnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun