penguasa Nusa Ina
dari unjung Tanjung Kuako
beta putra Siwalete Maatita
mengucapkan kapata-kapata cinta
menaikan kapata-kapata perlawanan
dari dalam mulutku yang bau tembakau
dan bibirku yang merah pinang
dengarlah tangisan anak-anak seram
di unjung-unjung tanusang
di bawah kaki gunung Binaya
di balik dinding rumah gaba-gaba
suara-suara jeritan
tangisan
dan suara-suara perlawanan
bersama terdengar dengan nyanyian kasturi
diseantero pulau ibu
tubuh-tubuh sakit tak berdaya
dipikul melewati hutan belantara
dengan hahalang dan janji pejabat yang begitu banyak
sedangkan pada ranting pohon-pohon lengua
korporasi sedang bernyanyi merdu
excavator menari-nari
hutan adat yang hijau dicukur bersih
masyarakat berteriak
pejabat tutup telinga
karena rupiah telah duduk diam di saku celana
pohon-pohon sagu kini tumbang ditanah
sawit dan padi tumbuh subur disana
janji pemindahan ibukota
saat kampanye hanya jadi cerita lama di media
dan itu adalah pembohongan terbesar
untuk anak cucu Nusa Ina
beta putra Siwalete Maatita
kepada Upu Lanite
kepada datu-datu dan moyang-moyang
penguasa Nusa Ina
izinkan beta suatu saat
berdiri tegak di pulau ibu
memegang kamudi negeri raja-raja
mengubah semua tangis yang ada
menjadi tawa, mengubah semua duka yang ada menjadi cinta
Tunggu Beta Nusa Ina