Mohon tunggu...
Hendra Kumpul
Hendra Kumpul Mohon Tunggu... Lainnya - Ro'eng Koe

Sedang Belajar Menulis ndakumpul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koja untuk Bupati Manggarai

18 Mei 2020   16:44 Diperbarui: 18 Mei 2020   16:43 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nenek penjual koja. Kompas.com

"Cop kawe mose taaa nana reba." ("Begini sudah cari hidup") jawab sang nenek dengan enteng.
"D ende daku ga yo...toe kat jera roeng dite pika?" ("Sa pu nene ni, tida mau suruh anak-anak untuk jual?"
"Sibuk gu kerja gu sekolah ise e nana", ("Mereka sibuk sekolah dan kerja anak muda") jawab sang nenek dengan semringah.

Percakapan berhenti sebentar. Koja yang dibeli tadi tinggal beberapa butir. Teman saya langsung melahapnya. Daripada sang nenek beranjak, saya kembali membuka percakapan.

"Eng ta ende, one pisa keta puung pika koja teneng it?" ("Sejak kapan nenek berjualan kacang tanah rebus?")
"Du masa bupati d Gaspar Ehok danong g nana." ("Sejak Bupatinya Gaspar Ehok, anak muda."), sahut sang nenek.

Rasa kaget dan terkejut bercampur aduk dalam kepala saya. Ternyata sang nenek ini telah lama menjajakan kacang tanah rebus. Alm. Bupati Gaspar Ehok saja memerintah Kabupaten Manggarai pada awal tahun 1990-an. Itu berati sudah 20-an tahun lebih sang nenek menjajakan kacang tanah rebus.

"Ole ende, kali nais dite pika koja g ende. Eme neho tae d anak uwa weru ho ga, lamung tite g...hehehe" ("Ternyata nenek sudah lama menjual koja e. Kalau bahasa anak Manggarai zaman now, su berlumut e..hehehe"), kata saya mencoba berguyon dengan sang nenek.
"Htup kta bo gta nana...hhhhh" (Itu suda k anak muda..hhhh)  jawab sang nenek sambil ketawa.

Kemudian saya menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli kembali seplastik koja. Sang nenek menolak uangnya, tapi memberikan kojanya. Namun, saya tetap getol memberikan uang. Sang nenek juga dengan getol menolaknya. Akhirnya, saya mengalah sambil menerima seplastik koja pemberiannya. Dalam hati, saya merasa senang karena dapat koja gratis.

Hujan pun turun dengan deras. Sambil menunggu redanya hujan, saya dan sang nenek penjual koja larut dalam percakapan. Kali ini, sang nenek menceritakan tentang awal mulanya ia berjualan koja. 

Waktu itu, katanya, untuk membiayai dua orang anak yang bersekolah. Setiap hari, ia tak jemu-jemunya merebus koja pada dini hari dan menjualnya pada pagi hingga sore hari. Adakalanya semua kojanya laku terjual. Adakalanya juga tidak semuanya terjual. Namun, ia tetap tekun dan telaten untuk merebus dan menjajakan koja.

Untungnya jerih payahnya berbuah hasil yang memuaskan. Kini, kedua orang anaknya bekerja sebagai pegawai perkantoran di Kota Ruteng.
Dari cara bicara dan pancaran matanya, saya sungguh yakin sang nenek bercerita benar.

"Eng p ende, toe kat emo pika koja ho ga. Ai sukses taung anak dite ge" ("Kenapa tidak berhenti saja menjual kacang tanah rebus, sebab kedua anaknya nenek sudah sukses?")

"Ta nana, toe d dian oke kerja ata pande mose ite. Neka neho kope hot hemong bakon. Nganceng mbele ata laing" ("Aduh anak muda, tidak baik membuang kerja yang sudah menghidupi kita bertahun-tahun. Jangan seperti parang yang lupa sarungnya, bisa membunuh orang"), jawab sang nenek pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun