Ramdhan telah "berjalan" selama beberapa minggu. Kaum muslim khusyuk dalam puasa dan menjalankan rukun islam. Karena covid-19, mudik tak berjalan mulus dan bahkan dilarang. Euforia buka puasa bersama keluarga besar pun tak terjadi seperti galibnya.
Namun, ada sesuatu yang cukup menarik  jika Ramadhan tiba, khususnya bagi masyarakat di (pedalaman) Manggarai, NTT yang biasanya berdomisili di daerah pegunungan. Pasokan ikan serentak mandek. Amunisi protein dalam tubuh ikut berkurang.
Kini tak lagi terdengar suara-suara penjual ikan yang menyahut di pagi dan sore hari, "ikan...ikan..Tembang, tongkol, anak kombong."
Ada kebiasaan bahwa para penjual ikan di Manggarai langsung menjajajakan ikan-ikannya ke Kampung-kampung. Ada yang bermotor. Ada pula yang berjalan kaki sambil menjunjung baskom ikan di kepala.
Biasanya jika suara penjual terdengar, sontak para ibu-ibu berkerumun. Mereka melakukan penawaran yang alot, hampir-hampir membuat penjualnya rugi. Jika tak ada uang, cukuplah ikan dibarter dengan beras di daerah penghasil beras atau dengan kopi di daerah penghasil kopi. 10 ekor ikan biasanya ditukar dengan 1 Kg beras atau 1 kg kopi. Namun, jika ikan cenggalang yang dijual 3 ekor ikan ditukar dengan 1kg beras atau 1 kg kopi. Ikan-ikan berjenis lain hampir tak pernah atau jarang dijual. Yang laris manis dijual ialah ikan tembang, anak kombong, ikan terbang, tongkol, dan cenggalang.
Perlu diketahui bahwa di Manggarai, semacam sudah digariskan dari sononya bahwa penduduk agama Katolik biasanya berdomisili di wilayah pegunungan dan kaum muslim berdomisili di pantai. Meskipun, tidak semuanya demikian.Â
Penduduk muslim itu kebanyakan pendatang dari Bima dan Bugis.Sementara itu, penduduk di pegunungan merupakan orang-orang asli Manggarai yang sejak turun- temurun tinggal di wilayah pegunungan.Â
Selain karena berlahan subur, alasan utama mereka ialah keamanan. Pada zaman dulu, penjajah akan susah  menyerang mereka karena lokasi kampung yang terjangkau dan dikelilingi oleh jurang-jurang yang terjal.
Mata pencaharian utama penduduk gunung ialah bertani dan berkebun. Hasil pertanian tersebut misalnya cengkeh, kakao, kopi, vanili, dan padi. Selain itu, ada juga masyarakat yang menanam bermacam-macam sayur, seperti wortel, kol, labu, dan lain-lain.
Makanya jika mereka tak mempunyai uang untuk membeli ikan dari nelayan, sistem barter angkat bicara. Ini sudah menjadi kebiasaan. Mereka akan menukarkan ikan dengan beras atau kopi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!