Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Pejuang di Sekitar Perang Surabaya

6 November 2022   15:45 Diperbarui: 6 November 2022   15:48 3119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku karya Irna H.N. Hadi Soewito (Sumber: dokpri)

Semua berbagi peran dengan tujuan yang sama, yakni "Merdeka atau Mati". Dalam urusan dapur umum, tentu semua mengenal kiprah bu Dariyah, atau yang dikenal dengan bu Dar Mortir. Bersama dengan Murtinah, mereka ditugasi untuk mengatur segala kebutuhan makanan di daerah Ngempak, Pregolan dan Wonokromo, untuk mendukung para pejuang di seluruh area Surabaya.

Kesatuan Palang Merah Indonesia pun mendapatkan dukungan dari laskar Pemuda Arab Republik Indonesia (PARI). Dari pasukan pemudi PARI inilah, dukungan untuk tenaga kesehatan didapatkan. Mereka dibawah komando Ny. Kalsum dengan anggotanya, seperti Aminah, Hadijah, Zahrah, dan Asiyah.

Maka, sekiranya kita dapat memahami arti penting para pejuang perempuan di front Surabaya 1945. Banyak pula korban yang berjatuhan dari mereka, lantaran setiap serangan udara Sekutu tidak mengenal target antara penduduk sipil, Palang Merah, ataupun pejuang Republik.

Seperti yang terjadi pada pertempuran di Krian, sejatinya para pejuang perempuan yang bertugas menolong para korban, justru ditembaki dari darat dan udara. Sekitar 350 pejuang dan rakyat pun gugur pada peristiwa tersebut. Sedangkan yang terluka, dibawa dan diungsikan ke daerah Mojokerto.

Hingga saat Surabaya jatuh ke tangan Sekutu pada akhir bulan November 1945. Kiprah para pejuang perempuan selalu hadir ditengah peristiwa-peristiwa penting. Bahkan hingga akhir perang Surabaya, eksistensi mereka ditengah para pengungsi pun tidak berhenti. Banyak diantara mereka yang kemudian beralih menjadi pengajar bagi anak-anak dan penduduk yang buta aksara.

Sedianya, disini kita dapat mendapatkan abstraksi secara luas bahwa pertempuran Surabaya faktanya melibatkan seluruh rakyat dengan tidak membedakan gender ketika sama-sama angkat senjata. Baik pertempuran secara langsung, ataupun aksi sabotase dan logistik. Dimana tentunya adalah barisan Palang Merah, yang selalu berdiri di setiap front pertempuran.

Sekiranya kisah perjuangan para pahlawan perempuan ini dapat memberi inspirasi untuk kita semua. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun