Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misteri Seputar Surat 1 Agustus 1949 Jenderal Soedirman

1 Agustus 2022   06:00 Diperbarui: 1 Agustus 2022   06:05 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Jenderal Soedirman, Gatot Soebroto, dan A.H.Nasution pada sebuah pertemuan (1948).

Ketika perjanjian Roem Royen disepakati dan Pemerintah menetapkan untuk menghentikan aksi baku tembak oleh para Pejuang kepada Belanda, seketika itulah terjadi krisis kepercayaan antara militer dengan politisi. Khususnya terhadap Jenderal Soedirman, usai aksi Agresi Militer Belanda 2 di Jogjakarta.

Jenderal Soedirman yang kala itu memilih untuk bergerilya, sudah sampai pada titik dimana kepercayaan terhadap sikap diplomatif Pemerintah menjadi rendah. Beliau tidak percaya terhadap sikap pemerintah yang terus mengupayakan aksi diplomatif, sedangkan di medan tempur, ribuan pasukan pejuang gugur menjaga kedaulatan bangsa.

Jenderal Soedirman melihat hal ini sebagai sikap anti revolusioner sebagai seorang pejuang. Terlebih ketika melakukan aksi gerilya, beberapa kali nyaris tertangkap Belanda, dengan target hidup atau mati. Hal ini tentu saja semakin membulatkan tekadnya untuk bertempur hingga titik darah penghabisan bersama para pejuang Republik.

Maka wajar, bila Jenderal Soedirman yang dahulu menghendaki kemerdekaan 100 persen, kembali mengkritisi sikap Pemerintah. Karena beliau paham betul bagaimana seorang pejuang yang rela mengorbankan jiwa raganya dalam suatu pertempuran. Daripada berdiplomasi dibalik meja kekuasaan, yang kerap dipermainkan oleh Belanda.

Sebenarnya ini adalah kritik yang membangun. Sebagai dasarnya adalah dilanggarnya beberapa perjanjian antara Indonesia dengan Belanda. Baik sejak Agresi Militer yang pertama dan kedua. Semua dianggap sebagai bukti yang justru merugikan pihak Republik, khususnya bagi para pejuang.


Kita kroscek mengenai perjanjian Linggarjati di tahun 1947, yang menyebabkan terjadinya Agresi Militer Belanda 1. Belum lagi dalam perjanjian Renville di tahun 1948, yang faktanya membuat Belanda melakukan Agresi Militernya yang ke 2. Sesudah itu, ada lagi perjanjian Roem Royen di tahun 1949, yang dianggap Sang Jenderal sebagai siasat licik Belanda untuk menyerang kembali Indonesia.

Begitulah kiranya kenang Moh. Roem, tatkala mendapatkan gambaran bagaimana sikap Panglima Besar Jenderal Soedirman ketika ditemuinya pada tahun 1949. "Meski dalam keadaan sakit payah, ia ingin tinggal bersama pasukan gerilya dan para petani sampai tiba harinya yang menentukan", terangnya.

Sang Jenderal memang sangat akrab dengan para pejuang di garis depan, sejak pertempuran di Ambarawa dan Jogjakarta. Terlebih ketika ia mengenal sosok pejuang seperti Komarudin, yang dikenalnya sebagai sosok rela mati dan tanpa pamrih hanya demi negeri ini. Tetapi, tentu tidak hanya Komarudin yang membuat Sang Jenderal akhirnya menulis surat bertanggal 1 Agustus 1949.

Dalam keadaan sakit, Jenderal Soedirman seolah semakin tertekan karena realitas perjuangan pada tahun 1949 semakin fokus kepada aksi diplomasi. "Dalam kondisi sakit, ia selalu memikirkan nasib bawahannya, khususnya para prajurit yang di garis depan", ungkap A.H. Nasution. Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Abdulgani terhadap sikap Jenderal Soedirman kala itu.

Surat tertanggal 1 Agustus 1949 itu isinya adalah sikap pengunduran diri sebagai Panglima Besar, yang ditujukan kepada Presiden Soekarno. Surat tersebut adalah sikap mutlak dari Panglima dalam melihat realitas politik yang dianggapnya telah menjauh dari cita-cita perjuangan.

Dihadapan A.H. Nasution, Panglima memberikan surat agar disampaikan secepatnya kepada Pemerintah. Tetapi, sebelum beranjak, Pak Nas membaca isi dari surat yang belum diberi nomor untuk diteruskan. Dengan suasana hangat, Pak Nas memberi masukan kepada Sang Panglima,  "lebih baik persatuan pimpinan APRI daripada soal strategi perjuangan", ungkapnya.

A.H. Nasution meneruskan, "Bagaimanapun baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal". Sejenak Sang Jenderal berpikir terhadap apa yang dijelaskan oleh Pak Nas, untuk kemudian meneruskan sikapnya.

Lagi-lagi, sikap ksatria yang Sang Panglima adalah keputusan akhirnya. Beliau tidak jadi meneruskan surat untuk diberikan kepada Presiden Soekarno. Lantaran penjelasan yang diterimanya dapat disimpulkan sebagai akhir dari perjuangannya. Walau tidak melalui medan gerilya.

Seolah Jenderal Soedirman tahu, bahwa di akhir hayatnya, beliau hanya dapat memimpin perjuangan melalui peristirahatannya di Rumah Sakit Panti Rapih. Sebelum berpindah ke kediamannya di Magelang, untuk beristirahat selama-lamanya pada 29 Januari 1950. Tetapi, surat bertanggal 1 Agustus 1949 itu tetap menjadi misteri hingga kini.

Seandainya surat tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, tentu kisah sejarah akan berbeda. Seperti kita ketahui, pada masa itu tengah terjadi gejolak politik antara Pemerintah dengan kelompok militer. Dimana konflik diantaranya kerap diselesaikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Sekiranya ini yang dapat penulis kisahkan, dari semangat juang yang tak pernah padam, dari semangat berkisah tentang betapa besarnya bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Khususnya melalui kisah sejarah di masa lalu. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun