Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Perjuangan Adnan Buyung Nasution

20 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 20 Juli 2022   09:56 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adnan Buyung Nasution (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Tanggal 20 Juli 1934, adalah kelahiran seorang pejuang keadilan bagi masyarakat Indonesia. Seorang tokoh yang terkenal dengan suara lantangnya dalam menyuarakan kebenaran maupun keadilan. Beliau adalah Adnan Buyung Nasution. Seorang pengacara yang lahir di Jakarta, pada masa pendudukan Belanda.

Iklim perjuangan lintas zaman yang dilalui sepanjang hidupnya, menjadikan dirinya mantap dalam membela hak orang-orang yang lemah. Khususnya lemah dimata hukum dan peradilan. Ya, karena beliau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) didirikan untuk memberi bantuan hukum bagi masyarakat, tanpa terkecuali.

Kiprahnya dalam dunia hukum di Indonesia sudah tidak diragukan. Seorang tokoh yang dianggap sebagai "ancaman" bagi segala bentuk kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak pro terhadap masyarakat. Dijauhi oleh Pemerintahan Orde Lama hingga Orde Baru. Dengan menempatkannya sebagai sosok yang harus diwaspadai.

Sebagai salah satu tokoh yang "fokal" mengkritisi pemerintahan, baik dari meja hijau persidangan, ataupun demonstrasi jalanan. Ya, kehidupan semasa kecilnya di jalanan jugalah yang mempengaruhi pandangan kritisnya terhadap realitas sosial.

Adnan Buyung, yang semasa kecil tinggal di Jogjakarta, harus merasakan getirnya hidup dengan berdagang di sekitar pasar Kranggan. Dimana sang ibu yang berjualan cendol, bertugas sebagai informan bagi ayahnya yang tengah bergerilya menghadapi Belanda pada masa-masa Agresi Militer di Jogjakarta.

Sebuah keluarga pejuang, yang konsisten membela kepentingan bangsanya. Ketika Bung Karno tengah "dekat" dengan golongan komunis, beliau dengan gaya khasnya, selalu mengkritisi dengan berbagai macam cara. Khususnya melalui tulisan hingga pamflet. Suatu keahlian yang diperolehnya sejak masa penjajahan dulu.

Hingga pada era Orde Baru, suara-suara lantang kerap beliau kemukakan dalam berbagai moment. Baik dalam locus diskusi hingga seminar di kalangan mahasiswa dan umum. Kritik keras yang pernah dilontarkannya adalah perihal Dwi Fungsi ABRI, pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal inilah yang kemudian membuatnya menjadi sosok yang disegani oleh berbagai kalangan.

Terlebih pada fase-fase pra peristiwa Reformasi tahun 1998. Beliau menjadi bagian dari agenda perubahan, baik terhadap kalangan mahasiswa ataupun para tokoh-tokoh Reformasi lainnya. Selama kiprahnya di LBH, tentu banyak sekali kasus-kasus ketidakadilan yang diterimanya.

Tentu bukan soal biaya, tetapi lebih terhadap soal mengedapankan rasa kemanusiaan tanpa dinilai dari wujud materi, adalah motto hidupnya. Ya, seorang pengacara tulen yang disegani oleh "lawan" ataupun "kawan". Nyaris tiada gentar dalam urusan membela sesuatu yang diyakininya sebagai kebenaran. Entah itu kepada penguasa ataupun mafia sekalipun, semua sama dihadapan beliau.

Pada tahun 2007, beliau diangkat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden pada Bidang Hukum. Hal ini adalah bentuk apresiasi yang ditujukan untuk konsistensinya sebagai pejuang keadilan. Tetapi dengan catatan, kritik dan koreksinya terhadap berbagai kebijakan dapat terus disampaikannya sebagai upaya perbaikan bangsa.

"Tidak ada yang sekonsisten Abang Buyung dalam membela kebenaran", seperti itulah kiranya kata-kata dari kawan-kawan di LBH Jakarta. Bukan berarti menegasikan peran pejuang-pejuang hukum lainnya, tetapi lebih mengedepankan pendekatan sejarah yang tentu saja berangkat dari fakta dan data. Khususnya mengenai sejarah latar belakang beliau.

Abang Buyung, adalah sosok yang tidak tergantikan, menurut penulis. Hingga akhir hayatnya, berjuta pengalaman secara konsisten beliau kisahkan secara lintas generasi. Tanggal 23 September 2015, beliau wafat di RS Pondok Indah, karena sakit. Tidak ada kata lain yang dapat penulis kisahkan mengenai beliau, selain kalimat "jaga kebenaran itu dengan nyawa". Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun