1. Pembubaran konstituante,
2. Kembali kepada UUD 1945,
3. Tidak berlaku lagi UUDs 1950, dan
4. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dean Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Lantas, bagaimana dampaknya terhadap konstelasi politik di Indonesia kala itu?
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini adalah pintu dari pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin. Dimana poros-poros kekuatan partai terkuat yang berada di sekitar Presiden, bertugas sebagai pengarah kebijakan politik.Â
Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi golongan komunis untuk memainkan perannya. Tetapi jangan lupa, ada golongan nasionalis dan agama yang tetap menjadi bagian dari politik Indonesia kala itu.
Walau pada area "akar rumput", konflik antar golongan tetap kerap terjadi sebagai reaksi dari transisi arah politik bangsa. Baik secara kelompok, ataupun terstruktur dalam konotasi atas dasar ideologi atau partai tertentu.Â
Berbagai peristiwa konflik ini tentu saja kerap memakan korban di kedua belah pihak yang bertikai. Tak ayal, kelak secara perlahan, angkatan bersenjata melihat realitas ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa.
Nah, atas dasar inilah kemudian ide mengenai Nasakom muncul dan berkembang, sebagai alternatif ideologi yang "konon" dapat berdiri diatas semua golongan.Â
Walau pada akhirnya justru mengorbankan para pucuk pimpinan angkatan bersenjata, ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, termasuk A.H. Nasution, yang dijadikan target golongan komunis untuk disingkirkan.