Dewi Themis --yang menjadi simbol penegakan hukum, karena Dewi Themis adalah dewi keadilan dan menjadi wakil Tuhan di bumi dalam mitologi Yunani -- digambarkan tertutup matanya untuk menunjukkan sifat tak kompromi terhadap hukum. Tapi, kadang media bisa saja mentendensikannya berbeda, seperti buta (tak memiliki nurani) kala menginformasikan sebuah berita tentangnya matinya nurani dalam penegakan hukum di Indonesia.
Ada setidaknya 3 peristiwa tentang penegakan hukum yang bikin saya tidak habis pikir sampai saat ini.
Pertama, tentang Baiq Nuril yang merekam percakapan mesum kepala sekolah terhadapnya, malah dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Kedua, kasus Prita Mulyasari, yang mengeluh dan tak mendapat respon baik kala ia ingin menyelesaikan secara persuasif kasus yang menimpanya, lalu kemudian ia dijerat pasal yang sama seperti kasus Baiq Nuril saat ini akhirnya melampiaskan ganjalan hatinya ke mailing list.
Ketiga, Vitalia Sesha yang harus mengembalikan uang yang diberikan oleh Ahmad Fathanah, kasus impor daging sapi, karena uang tersebut dianggap bagian dari pencucian uang. Untuk yang ketiga ini saya rincikan sedikit. Pakar hukum Pencucian Uang, menganggap, apapun alasannya, tahu atau tidak tahu, penerima uang hasil korupsi wajib mengembalikan uang itu.
Apesnya, ada orang-orang yang menerima uang itu sebagai upah dari hasil pekerjaannya. Seperti penyanyi dangdut Rya Fitriani yang menerima uang dari Akil Mochtar, harus mengembalikan honor itu. Padahal Ria jelas dapat menunjukkan bukti bahwa itu hasil Hukum hitam putih melihat persoalan demikian.
Adakah ahli hukum yang bisa menjelaskan kenapa hukum kita bisa sampai begitu amat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI