Diluar negeri, istilah Thanks God It's Friday (TGIF) itu populer bukan semata karena Jum'at adalah hari terakhir bekerja, tapi karena pada hari Jum'at karyawan mendapatkan gaji mingguan mereka. Sebagian besar karyawan di luar sana mendapatkan gaji per pekan. Istilah "gaji per pekan" pasti lebih familiar saat anda mendengar kalimat ini dalam berita olahraga, "....dengan transfer pemain baru ini, maka Lionel Messi akan mendapatkan gaji 560 ribu dolar per pekan."
Suatu kali saat membuka usaha gerai makanan, saya menggaji karyawan fulltime saya setiap Jum'at alias mingguan. Bukan karena ikut-ikutan model TGIF, tapi karena saya percaya mendapatkan uang setiap pekan lebih menyenangkan daripada setiap bulan. Sehingga hari-hari yang mereka lewati akan terasa lebih menyenangkan, sebab ia hanya cukup menunggu 6 hari setelah mendapat gaji, untuk memperoleh gaji lagi. Menurut saya, manajemen keuangan dengan sistem per pekan lebih baik daripada sebulan, si karyawan lebih mudah melakukan pengaturan keuangannya. Secara psikologi, itu membuat karyawan cenderung dapat menghindari berhutang. Asumsinya mudah, saat seseorang kehabisan uang pada hari Rabu, mereka akan lebih bertahan untuk tak berhutang karena tahu dua hari lagi akan ada pemasukan baru. Dibandingkan seseorang bergaji bulanan yang kehabisan uang pada hari Rabu ditanggal 22, mereka akan memilih berhutang karena jelas tak sanggup bertahan selama 8 hari tanpa uang.
Sistem penggajian per pekan yang dianut oleh "kafir luar negeri" juga sebenarnya lebih syariah dibanding menggaji per bulan. Mengapa demikian? Ini hitungannya.
Sebutlah seorang karyawan bernama Joni mendapat gaji perbulan 5 juta. Dikali 12 bulan, maka total gajinya setahun adalah 60 juta.
Sekarang mari kita hitung bila dibayar per pekan. Seorang karyawan bernama Adi, ia bekerja di perusahaan lain, posisinya sama seperti Joni, namun ia digaji per pekan. Sebelumnya kita harus punya acuan, berapa ia akan digaji per pekan. Maka supaya mudah mengetahui acuannya, kita tanyakan saja kepada Joni, berapa nilai gajinya bila dibagi per pekan. Maka pasti Joni akan menghitung gajinya 5 juta itu dibagi 4 pekan. Maka hasilnya adalah 1.250.000,- per pekan. Itulah acuan gaji Adi selama sepekan itu berdasarkan skema pembagian gaji Joni. Berarti setiap minggu Adi harus dibayar 1,250.000.-. Tapi ingat, bila menggaji seseorang per pekan, jangan memukul rata bahwa setiap bulan hanya ada 4 pekan. Menghitung setiap bulan hanya ada 4 pekan berarti hanya menghasilkan sebanyak 48 pekan dalam setahun, padahal dalam setahun ada 52 pekan. Bila kita menggaji mereka setiap jumat, maka mereka akan menemukan 52 Jum'at dalam setahun. Begitu banyak sebuah hari dalam sebulan yang kita jumpai sebanyak 5 kali. Bila 1.250.000 dikali 52 Jumat, maka hasilnya adalah 65 juta rupiah pertahun. Selisih gaji Adi lebih banyak 5 juta daripada gaji Joni yang dibayar perbulan. Kesimpulannya, menggaji per bulan menghasilkan perhitungan siasat --kalau bukan disebut curang-- untuk membayar seseorang dibanding per pekan. Jadi membayar gaji per pekan, menguntungkan karyawan, dan syariah pula, karena kita nggak mensiasati pembayaran, bukankah salah satu ciri syariah yang kaffah adalah perhitungan yang fair? Saya jadi bertanya-tanya, kapan dan siapa yang awalnya mengubah skema pembayaran dari per pekan yang telah berlaku sejak lama menjadi perbulan, pastilah seorang pemilik usaha yang berusaha mensiasati cara pembayaran gaji karyawan menjadi lebih hemat 4 pekan. Pintar.
Ngomong-ngomong syariah, berulang kali saya mendapati bahwa cara berbisnis di negara kita, apalagi di Aceh yang katanya syariah, masih jauh dari syariah. Pertama, saya beri contoh, saat kita akan menjadi pelanggan sebuah produk, saya ceritakan saja pengalaman tak menyenangkan saya berlangganan paket internet dan TV kabel IndeKost dari TelorKom itu, saya diberitahu bahwa saya akan mendapatkan langganan TV All Channel. Tapi tak diberitahu, bahwa sebagian dari channel tersebut (salah satunya channel movie) hanya sekedar promo sebulan bagi pelanggan baru yang akan segera menghilang dari pandangan, kecuali kita membayar paket tambahan. Seharusnya, customer service memberitahu ketentuan itu. Lalu yang terjadi, persis seperti meme “sudah kuduga”, ketentuan itu disimpan rapat-rapat, dan bahkan anomalinya, channel gratis itu dijadikan kalimat ampuh menarik minat calon konsumen. Akhirnya konsumen menjadi pelanggan dan lalu kecewa bahwa fakta tak seperti harapan.
Bila kita melakukan komplain, kita akan dicecar balik mengapa tak membaca lebih dahulu syarat dan ketentuan dalam formulir berlangganan, yang sebenarnya formulir itu dikondisikan agar tak sampai kita baca setelah kita diyakinkan secara verbal dan diarahkan untuk segera menandatangani formulir. Semua hal disiasati dalam sebuah sistem pemasaran, dan kita memang diarahkan untuk terjebak dalam siasat tersebut, yang dalam setiap training pemasaran yang saya ikuti, siasat itu dikenal dengan istilah; sistem pemasaran modern. Preet.
Kedua, saat kita hendak membeli barang diskon. Awalnya, diskon diberikan bila memang saat itu pabrikan sedang melakukan cuci gudang karena akan muncul produk baru dengan model baru, menggeser model lama. Menghabiskan stok, setelah menurut hitung-hitungan tak akan mengakibatkan kerugian, maka sisa barang produk lama akan dijual diskonan, atau bahkan jual super murah. Namun yang sering terjadi, disini, barang diskon dijual setiap hari, dengan cara menaikkan harga barang menjadi lebih mahal, yang artinya harga barang setelah di diskon sama saja dengan sebelum diskon. Saya pikir ini semua orang sudah tahu.
Itu adalah dua contoh dari sekian banyak siasat yang terjadi, dari skema membayar gaji bulanan, hingga produk diskon-diskonan, yang menjadikan bahwa kita nggak syariah-syariah amat. Syariah kita baru sebatas bagaimana kita beribadah dan bagaimana kita mengatur jam keluar malam anak gadis orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI