Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Penahanan Nenek Asyani: Potret Hukum Berat Sebelah

14 Maret 2015   18:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:40 2079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14263411671542306228

[caption id="attachment_402821" align="aligncenter" width="620" caption="Nenek Asyani (Tribun News - Surya/Izi hartono)"][/caption]

Buramnya potret penegakan hukum di Indonesia dapat dilihat pada penahanan terhadap tersangka/terdakwa oleh aparat penegak hukum. Terjadi ketimpangan dalam penerapan hukum dan terkesan aparat penegak hukum melakukan “tebang pilih”. Anomali semacam ini berujung timbulnya dugaan dan kecurigaan masyarakat. Mengapa pencuri sandal sampai ditahan, sedangkan koruptor masih bebas berkeliaran. Agar tulisan ini proporsional, saya akan mengambil contoh kasus pada delik yang sama, perbuatan tindak pidana yang sama yang disangkakan/ didakwa oleh penyidik/penuntut. Yaitu tindak pidana pembalakan kayu liar (illegal logging).

Kasus terhangat pekan ini menimpa Asyanialias Bu Muaris (63 tahun), warga desa Jatibanteng kabupaten Sitobondo, Jawa Timur.Asyani disangka telah melakukan pembalakan kayu liar dan selanjutnya Asyani ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) sejak15 Desember 2014 lalu. Perihal kasus ini sudah saya tulis di Dakwaan Terhadap Nenek Asyani Mengada-ada.

Upaya penangguhan penahanan pada Asyani sudah dilakukan. Kuasa hukum Asyani sudah mengajukan penangguhan penahanan dengan alasan Asyani sering sakit-sakitan sejak ditahan 15 Desember 2014 lalu. Selain itu Wakil Bupati Situbondo, Rahmad telah memberi jaminan penangguhan penahanan. Ada juga beberapa kepala desa di wilayah barat Sitobondo siap memberi jaminan yang dikordinir oleh Kepala Desa Jatibanteng, Dwi Kurniadi (sumber). Terdengar kabar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya turut memberi jaminan penangguhan penahanan (sumber). Bahkan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Situbondo menginisiasi gerakan penangguhan penahanan terhadap Asyani (sumber). Tetapi hingga hari ini (14/3/2015) Asyani tetap mendekam ditahanan kurang lebih 3 (tiga) bulan lamanya.

Secara normatif, syarat, prosedur dan diskresi penahanan berada sepenuhnya pada kewenangan penyidik/ penuntut secara subyektif. Ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP hanya memberi batas syarat obyektif terbatas pada perbuatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Tolok ukurnya jelas. Sedangkan syarat subyektif yang tertera pasal 21 ayat (1) KUHAP sama sekali tidak jelas. Hanya aparat penegak hukum yang punya kewenangan menilai apakah ada timbul kekhawatiran tersangka/terdakwa (1) melarikan diri; (2) merusak atau menghilangkan barang bukti atau (3) mengulangi tindak pidana. Penilaian subjektif alias sepihak dari tiap-tiap penegak yang berwenang, yakni kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Secara teoritis, penahanan dibedakan antara sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) atau syarat obyektif dan perlunya penahanan (noodzakelijkheid) atau syarat subyektif.

Dalam prakteknya, penerapan syarat subjektif ini sangat sulit diukur takaran penilaiannya. Syarat subjektif ini tidak memiliki batasan yang jelas sehingga terkesan berada di wilayah abu-abu (grey area) yang sepenuhnya bergantung pada penilaian pejabat yang berwenang pada tiap tingkatan. Jatuhnya syarat subjektif penahanan ke dalam wilayah abu-abu inilah yang berpotensi besar untuk disalahgunakan oleh para penegak hukum yang takluk pada kekuatan uang, ataupun kuasa dan pengaruh. Pejabat yang berwenang akan dengan mudahnya secara sepihak dan subjektif menilai seorang tersangka ataupun terdakwa bisa atau tidak bisa ditahan berdasarkan penilaian sepihaknya atas alasan subjektivitas penahanan. Di wilayah subjektivitas ini pun sering ditemui banyak terjadi transaksi jual beli wewenang penilaian subjektif dari pihak penegak hukum terhadap pihak-pihak yang menjadi subjek dari penilaian subjektivitas para penegak hukum tersebut. Karena sangat sulit menilai secara objektif adanya niat tersangka atau terdakwa untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.

Mahkamah Konstitusi pun mempertegas posisi penilaian syarat subjektivitas penahanan yang tidak dapat diganggu gugat dengan menolak permohonan uji materi KH. Abu Bakar Ba’asyir yang menggugat syarat subjektif penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, sebagaimana tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.16/PUU-IX/2011 tanggal 11 April 2012, karena dianggap telah nebis in idem berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 018/PUU-IV/2006 tanggal 20 Desember 2006.

Kembali ke soal penahanan Asyaniyang disangka/ didakwa melakukan perbuatan tindak pidana pembalakan kayu liar. Bila melihat kasus ini berdiri sendiri atau satu-satunya, bisa jadi tidak akan menimbulkan kecurigaan atau dugaan macam-macam pada aparat penegak hukum dalam menjalankan syarat subyektif tersebut. Namun jika membandingkan dengan kasus-kasus serupa (tindak pidana pembalakan kayu liar) di tempat lain dan di waktu yang berbeda, beberapa tersangka/terdakwa tidak ditahan atau penahanannya ditangguhkan.

Sebagai perbandingan, berikut contoh kasus pembalakan kayu liar dimana tersangka/ terdakwa tidak ditahan atau penahannya ditangguhkan, antara lain:

·Rusli Zainal, Gubernur Riau selain dijerat delik korupsi juga dijerat kasus pembalakan kayu liar. Kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (sumber).

·Kolonel (Inf) RG, Kepala Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Kodam XVII/Trikora Papua tahun 2001 (sumber).

·Aden Suryana, Kepala Kamp PT. Centrico di Kaimana Papua Barat yang kasusnya ditangani Bareskrim Mabes Polritahun 2008 (sumber).

·Ir. Badaruddin, Bupati dan Baslenuddin, Ketua DPRD Barito Utara yang kasusnya ditangani Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada tahun 2003 (sumber).

·Tommy, Direktur PT. Ewan Superwood Erni di Pekanbaru, Riau (sumber).

·Andi Natsir, Ketua DPRD Enrekang, Sulawesi Selatan pada 2013 (sumber).

Enam contoh kasus di atas menggambarkan penilaian subyektif aparat penegak hukum dalam menerapkan penahanan terhadap tersangka/terdakwa terkesan “tebang pilih”. Enam tersangka/terdakwa di atas adalah pihak yang memiliki kuasa politik dan kuasa uang yang lebih dibandingkan dengan Asyani, orang tua renta warga desa biasa. Dengan kuasa yang dimiliki oleh tersangka/ terdakwa, dia bebas dan tidak ditahan oleh aparat penegak hukum.

Saya cukup menghargai komitmen aparat penegak hukum yang ingin memberantas tindak pidana pembalakan kayu liar. Tetapi komitmen itu tidak boleh ada pengecualian dengan bersadar pada asas persamaan di depan hukum. Dengan terjadinya praktek-praktek dari contoh kasus di atas, nampak ada pengecualian. Dikeculiakan hanya untuk tersangka/ terdakwa yang memiliki kuasa politik dan kuasa uang. Bila hukum hendak ditegakan tanpa pandang bulu, baik Bupati atau warga biasa yang melakukan tindak pidana serupa harusnya ditahan atau tidak ditahan. Diberi penangguhan atau tidak sama sekali. Tetapi, jika prakteknya seperti ini ada pengecualian dan berat sebelah dengan menggunakan penilaian subyektif, menjadi wajar jika masyarakat menaruh curiga dan ketidakpercayaan pada aparat penegak hukum.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun