Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merawat Ingatan, Melawan Lupa Tragedi Mei 1998

13 Mei 2022   19:00 Diperbarui: 14 Mei 2022   00:46 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Foto: Rully Kesuma/Majalah D&R via Kompas.com

Mei, tahun 1998. Saya masih di kampus. Angkatan paling tinggi kalau dalam situasi normal. Tapi di atas angkatan kami masih ada beberapa yang tercecer belum lulus kuliah. Merekalah yang sebetulnya punya komando di garis depan memelopori aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Situasi dalam pagar dan luar kampus kala itu bagai tembok pembatas keamanan diri dan wilayah kekuasaan. Di dalam kampus, mahasiswa bebas berorasi lantang menentang kebijakan penguasa. Tajam, kritis, dan tentu saja mengundang "bahaya". Maklum, generasi yang lahir dan besar kala itu tahu sendiri akibatnya bila terlalu vokal pada penguasa.

Di kota-kota yang memiliki perguruan tinggi (PT), entah itu negeri atau swasta, Mei menjadi puncak demonstrasi. Hampir setiap hari ada ada sekumpulan mahasiswa yang berorasi di kala jam efektif kuliah. Berkeliling mengajak rekan-rekan lain untuk ikut bergabung.

"Sudah tutup saja bukunya. Silakan turun, ikut ke luar. Sini, kartu absensinya dikumpulkan. Saya tidak akan memberi kalian nilai jelek atau tidak meluluskan mata kuliah ini. Daripada kalian tak konsentrasi!" Begitulah kata-kata dari salah satu dosen kami yang cukup demokrasi.

Tentu, siapa yang menyangka, dari aksi-aksi kecil dan sporadis itu, kelak menjadi dinamit. Mampu meledakkan isu yang sama. Penguasa harus mengakhiri masa jabatannya yang sudah 3 dasawarsa lebih. Isu yang sama, dari pusat ibukota hingga ke daerah.

Terasa "rugi" jika kala itu kuliah hanya jadi "anak manis" di kampus. Tak akan merasakan bagaimana ketar-ketirnya mencari dan mendapatkan berita secara underground. Tak akan merasakan "aura perjuangan" gegap gempitanya ketika ratusan hingga ribuan massa berkumpul bersama di lapangan atau tempat terbuka menggelar "mimbar bebas".

Ya, tak hanya yang serius. Orasi dengan satir dan canda pun dilakukan. "Awas ada 'pentium', kawan-kawan."

Pentium? Apaan itu? Kata sandi yang sebetulnya mudah saja terbaca. Itu nama lain prosesor bawaan pabrikan komputer merek Intel. Kata lain menunjukkan ada 'intelejen' yang sedang menyamar di antara mereka.

Mimbar bebas juga menjadi saksi persatuan kala itu. Aksi ditutup dengan dipimpin oleh pemuka agama yang tentunya punya keterpanggilan di sana. Kami berdoa bersama sessuai agama dan kepercayaan masing-masing. Doa secara bergantian. Soal situasi dan kondisi tanah air yang sedang hangat-hangatnya.

Agama bukan menjadi penyekat perbedaan. Agama masih ada dalam ranah individu. Indahnya beragama secara akal dan nalar yang sehat. Sebelum paham radikal dan intoleran merasuki jiwa-jiwa yang polos terpapar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun