Repot kan kalau pihak istri tidak bisa berpikir sampai sejauh seperti yang dipikirkan  oleh suami. Terkesan njomplang, beda yang amat jauh. Tidak bisa sharing, berbagi beban dan pergumulan hidup bersama.
Padahal secara teori hereditas, justru faktor ibu yang punya persentase lebih besar menurunkan kecerdasan pada si anak. Jadi, kalau menikah, si perempuan tak perlu lulusan sekolah tinggi, rasanya juga tak tepat pandangan itu.
Ya, secara teori, gen kecerdasan terletak pada kromosom X dan perempuan memiliki dua kromosom tersebut. Sementara laki-laki hanya membawa satu kromosom X dan sisanya adalah kromosom Y.
Karena perempuan membawa dua kromosom X, maka bisa dipastikan kalau anak-anak memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mendapatkan kecerdasan dari sang ibu.
Pendidikan Tinggi Tetap PerluÂ
Tasya Kamila, mantan model cilik iklan pasta gigi yang kemudian menjadi penyanyi. Ia mungkin satu di antara banyak perempuan Indonesia yang juga memutuskan akan menjadi ibu rumah tangga saja setelah menikah. Walaupun bergelar S2 dari Columbia University dengan beasiswa, ia tetap memilih melakukan hal tersebut. Keputusan yang disayangkan banyak orang ketika ia memutuskan masa lajang dan menikah pada awal Agustus 2018.
Kembali kejadian seperti ini terus mengusik alam pikir secara sadar. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau jatuhnya cuma jadi istri? Buat apa kuliah kalau nantinya hanya di rumah?"
Perimbangan hubungan antara suami dan istri. Barangkali itu yang bisa menjadi faktor ketika istri akhirnya lebih memilih menjadi istri. Bukan menjadi wanita karier, melanjutkan cita-cita dan harapan semasa masih menuntut ilmu.
Ilmu dan pengalaman selama menempuh pendidikan tinggi akan berguna dalam menyelesaikan beragam persoalan dalam rumah tangga. Perempuan dituntut untuk multitasking, serba bisa. Apalagi jika sudah memiliki momongan, anak. Makin besar tantangan yang dihadapi.
Perempuan yang terbiasa diajari cara berpikir mandiri selama mengenyam masa pendidikan tingkat tinggi, akan lebih mampu dan kreatif dalam membina hubungan dalam keluarga. Ia bisa menjadi guru yang baik buat buah hati, menjadi teman yang sepadan terhadap pasangan hidup.
Di luar itu, perempuan masih tetap bisa berkontribusi walau dari rumah. Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan terciptanya hal ini. Mengembangkan talenta yang dimiliki tidak akan terputus walau sudah terikat dalam tali perkawinan sekalipun.