"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau jatuhnya cuma jadi istri? Buat apa kuliah kalau nantinya hanya di rumah?"
Pernah mendengar pernyataan seperti di atas? Barangkali sering. Bagi perempuan, yang mengalami hal itu, tentu menjadi dilema. Apalagi buat mereka yang berasal dari desa. Sekolahnya jauh-jauh ke kota, pulangnya nanti toh kembali lagi ke desa asal.
Kalaupun waktunya menikah, kebanyakan mereka akan mengalah. Lebih memilih menjadi istri yang berdiam di rumah dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Menjadi pengasuh anak ketimbang tetap bekerja di tempatnya semula, sebelum ia memutuskan berumah tangga.
Lulus dari perguruan tinggi, menjadi sarjana. Terus ilmunya buat apa kalau akhirnya di rumah saja? Bukankah kalau demikian lulus SMA pun sebenarnya sudah cukup.
Pandangan kolot, kuno, konservatif, konvensional masyarakat tempo dulu berarti benar dong? Zaman Kartini terulang lagi tentunya.
Tak Salah Bukan Berarti Benar
"Menikah, cukup suami saja yang berkerja. Istri tinggal di rumah. Suami yang akan menafkahi kebutuhan keluarga. Jadi istri itu sebenarnya enak, to?"
Belum tentu pemikiran tersebut benar. Bisa jadi malah berlebihan. Perempuan dan lelaki punya peran yang sama terhadap keutuhan dan kebaikan rumah tangga bersama. Faktor pendidikan tetap punya peran penting di dalamnya.
Bayangkan kalau strata pendidikan lelaki dan perempuan itu berbeda jauh. Mau berkomunikasi terhadap isu tertentu jadinya tidak nyambung. Mau curhat sebuah persoalan, tidak bisa setara. Karena persepsi yang dibangun setidaknya juga terkait dengan faktor pendidikan yang dimiliki.
Bagaimana coba kalau istri ditanya atau diminta pendapat dari suami, "Masalahnya seperti ini, bla-bla-bla, apa yang saya lakukan?" Terus cuma dijawab, "Terserah, Mas..."