Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pentas Sawunggaling; Kisah dari Kadipaten Surabaya

25 Agustus 2019   19:45 Diperbarui: 25 Agustus 2019   19:49 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu gambar oleh banyak tangan (foto: dok. pribadi)

Surabaya kota pada masa kini, tempo dulu (sekitar abad ke 16-17) pernah punya cerita tentang sebuah Kadipaten. Namanya Kadipaten Surabaya. Penguasanya bernama Adipati Jayengrono.

Nah, masih dalam rangka semangat 17-an, pada hari Minggu (18/8/2019) lalu, sebuah pentas seni kolaborasi diadakan oleh Disbudpar (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) Kota Surabaya. Kegiatan yang diikuti 540 peserta dari Rumah Kreatif binaan Disbudpar itu mengambil tajuk "Sawunggaling #Anak Dunia".

Gelaran dengan durasi waktu sekitar 2 jam ini diadakan di ruang publik Taman Bungkul. Berisi gabungan dari hasil pelatihan seni musik, teater, tari, pedalangan, macapat, sastra, topeng, MC Jawa, layang-layang, karawitan, jaranan, reog dan lukis.

Wih, paket lengkap pokoknya... Sutradaranya adalah Ketua Bengkel Muda Surabaya (BMS) Cak Heroe Budiarto. Penontonnya pun sampai berjubel dan rela berpanas-ria.

Foto ini adalah kolase aneka pajangan kreasi layang-layang, topeng kertas, lukisan, serta tampilan paduan suara yang tampil.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sawunggaling adalah sebuah simbol kekuatan lokal dan harapan menembus cita-cita yang mendunia sekalipun. Makanya, dengan penampilan pentas seni kolaborasi ini diharapkan anak-anak Surabaya bisa terus bangkit dan tidak pernah menyerah seperti yang selalu diharapkan.

"Harus berani bangkit, belajar dan bekerja keras. Semangat itu ibarat pelita yang tak boleh padam dalam sanubarinya. Semangat itu harus tetap menggelora meski apapun yang dihadapi. Semangat inilah yang ingin kita sampaikan dan kita tularkan kepada warga Surabaya, khususnya anak-anak Surabaya supaya sukses di kemudian hari," kata Walikota Surabaya Tri Rismaharini ketika membuka acara ini.

Bagaimana keseruannya? Simak melalui foto-foto ini. Harap maklum, posisinya di belakang tempat duduk undangan dan tamu, jadi tak bisa leluasa mengambil gambar. Ini pun dengan kamera HP, hehe....

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ini adalah tampilan kidung Jula Juli dan Tari Remo massal dari anak-anak. Ada flashmob juga buat yang ingin mengikuti.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sajian drama menampilkan gelaran tradisional kontemporer dan drama. Dibuka dengan adegan berburu hewan di hutan dan berlanjut pada pertemuan Adipati Jayengrono dan Dewi Sangkrah, wanita desa biasa.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dari awal pertemuan, membuat keduanya makin dekat dan akhirnya menikah. Pentas diisi dengan balutan tampilan perpaduan gaya seni tradisi dan modern. Namun sebagai Adipati, ia tidak bisa membawa sang Dewi ke kotapraja. Hingga kelak putranya lahir dan mulai tumbuh besar.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Anak-anak menggambar bersama di atas satu kanvas, diiringi karawitan di atas panggung. Hasilnya warbyasah (lihat gambar ilustrasi awal). Tak gampang lho, menyatukan ide dalam satu frame.
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
 Joko Berek alias Sawunggaling. Tumbuh tanpa kehadiran ayah kandungnya. Sukanya beradu ayam. Jagonya selalu menangan. Tapi, pada masa itulah, istilah jaman now, ia kerap mengalami perundungan (bully). Tak tahan lagi, ia bertanya kepada kakek dan ibunya, "Mengapa ia tak punya ayah seperti teman-teman lainnya?!" Terkuaklah pada akhirnya, siapa ia sebenarnya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Ayahmu adalah seorang Adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Adipati Jayengrana. Bila kamu ingin bertemu dengannya, datanglah ke sana." Restu pamit dari sang ibu diterima Joko Berek.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
 Adegan lantas diisi kolaborasi seni kolosal yang bersifat tradisional, sebagai penggambaran perjalanan batin dan tekad Joko Berek yang sudah bulat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dikisahkan, kedatangan Joko berek dicegat oleh prajurit yang sedang bertugas. Ia memaksa masuk dan menantang siapa yang berani menghalanginya. Ribut-ribut ini didengar oleh dua orang putra Adipati Jayengrana: Sawungsari dan Sawunggrana. Ia diakali dengan menantang adu ayam. Tentu saja diladeni.

Adegan diperagakan ke tampilan kolaborasi seni kontemporer. Kisahnya adu jago. Hip hop, dance (kiri) versus tari atau seni tradisi (kanan).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ya.... jagonya dibawa kabur. Dikejarlah oleh Joko berek. Hingga... bertemu dengan sang Adipati.

"Nanti dulu. Siapa nama ibumu, dan apa buktinya kalau kamu anakku?" tanya Adipati.

"Hamba adalah putra dari Biyung Dewi Sangkrah. Sebagai bukti bahwa hamba memang anak Dewi Sangkrah, ibu memberi hamba sebuah selendang Cinde Puspita ini!" jawab Joko berek.

Terkejutlah Adipati Jayengrana, tapi ia tak bisa mengelak. Selendang itu memang pernah ia berikan kepada Dewi Sangkrah yang dicintainya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ini tuturan kisah yang lain, semi sejarah.  Pada suatu hari kadipaten Surabaya kedatangan kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan adipati di Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerja sama dengan kompeni Belanda.

Tetapi pada saat itu ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara sodoran. Sodoran adalah perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjatakan tombak dengan memanah umbul-umbul yang bernama Umbul-Umbul Tunggul Yuda.

Adipati Jayengrana yang sudah dipecat itu pun menyuruh kedua anaknya agar giat berlatih untuk mengikuti sayembara itu. Pemenang dari sayembara itu akan diangkat menjadi adipati di Surabaya.

Sawungrana dan Sawungsari; keduanya gagal, tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di antara Menara Galah. Hanya Sawunggaling-lah yang dengan tepat dapat menjatuhkan Umbul-Umbul Tunggul Yuda.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Akhirnya, Joko Berek menjadi Adipati yang baru, dan namanya berganti menjadi Sawunggaling. Demikian, tamat.

Begitulah kira-kira cerita dalam pentas kolaborasi yang diadakan mulai jam 8 pagi ini. Mohon dimaafken kalau ada yang kurang tepat dalam penyajian ringkas cerita ini.

Oh, ya, mengenai Rumah Kreatif sendiri sebetulnya sudah ada sejak tahun 2017. Di tempat ini, warga kota bisa mendaftar secara gratis, free di UPTD Tugu Pahlawan atau langsung ke Disbudpar di kompleks Balai Pemuda. Tidak ada batasan usia bagi warga Surabaya yang ingin bergabung di 18 pelatihan tersebut. "Coba, kurang enak bagaimana jadi warga Surabaya. Ya, toh....!"

Demikian kisah Agustusan tahun ini dari Surabaya. Salam kemerdekaan. Salam kebangsaan. Salam budaya. Rahayu....!

 Hendra Setiawan

Surabaya, 24 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun