Perpustakaan tua "Merak Biru" menyimpan aroma khusus: debu yang menari dalam sinar matahari sore, kayu jati yang bergetar setiap kali pintu dibuka, dan kertas-kertas yang berbisik kisah abad lalu.Â
Di balik meja sirkulasi yang megah, Risa duduk tegak, jilbab kebiruan menutupi rambut ikalnya yang membandel. Tangannya yang ramai memegang stempel bertanggal 1973—peninggalan ibunya—mengecap lembaran demi lembaran buku yang dipinjam.Â
Matanya, warna hazel yang tenang, sesekali melirik jendela berkaca patri tempat hujan Oktober mulai mengetuk-ngetuk. Musim hujan selalu membawa kenangan itu: bau tanah basah, derai air di genting, dan bayangan seorang lelaki berdiri di bawah payung merah.
Lelaki itu bernama Aris. Tiga tahun silam, ia muncul seperti badai di tengah keheningan Merak Biru. Kulitnya sawo matang terbakar matahari Jakarta, rambut ikal pendek tak rapi, dan mata cokelatnya menyala saat menemukan buku langka tentang arsitektur kolonial.Â
"Saya Aris Wijaya," katanya, suaranya serak namun hangat seperti teh jahe. "Sedang riset untuk restorasi gedung tua di Pasar Baru." Risa, yang biasanya dingin bagai patung marmer di hadapan pengunjung, tiba-tiba merasa jarinya gemetar saat menyerahkan buku itu.
Kunjungan Aris menjadi rutinitas. Setiap Selasa dan Kamis pukul tiga sore, ia datang dengan jas hujan berlumur lumpur dan sepatu bot yang meninggalkan jejak di lantai permadani tua.Â
Mereka berbincang di antara rak-rak buku usang. Aris bercerita tentang pilar-pilar yang retak, ornamen art deco yang nyaris runtuh, dan mimpinya menyelamatkan sejarah yang terabaikan.Â
Risa membalas dengan kisah-kisah dalam novel-novel Charles Dickens atau puisi-puisi Rendra yang ia hafal. Suatu hari, saat hujan menggema di atap seng, Aris bertanya, "Kenapa kau menyembunyikan wajahmu di balik buku-buku, Risa?"
Pertanyaan itu mengoyak tabir. Risa bukan sekadar pustakawan pendiam. Ia putri tunggal keluarga Darwis, pemilik terakhir Merak Biru yang nyaris bangkrut.Â
Jilbabnya bukan hanya keyakinan, tapi juga pelindung dari dunia luar yang pernah melukainya—dunia dimana tunangannya membatalkan pernikahan setelah tahu Merak Biru akan disita bank. "Buku tak pernah mengecewakan, Tuan Wijaya," jawabnya, menatap lurus ke mata Aris yang tiba-tiba terlihat sedih.