Di beberapa komunitas literasi, kegiatan diskusi dibatalkan gegara khawatir diawasi. Mahasiswa ragu meminjam buku-buku yang dianggap "kiri" di perpustakaan kampus.
Ada semacam ketegangan yang tak kasatmata antara keingintahuan dan ketakutan, antara membaca dan dicurigai. Ruang intelektual yang seharusnya terbuka, terasa seperti lorong sempit yang dijaga oleh mata waspada.
Padahal, Indonesia sudah lama berjuang agar literasi menjadi bagian dari peradaban. Akses terhadap buku di negeri ini sudah cukup sulit, harga mahal, pajak tinggi, dan distribusi yang tak merata.
Kini, ketika buku yang sudah langka justru disita, perjuangan literasi terasa seperti berlari di jalan menanjak sambil membawa beban ketakutan. Kita seperti sedang mematikan satu-satunya lilin di ruangan yang sudah gelap.
Penerbit Independen Indonesia dengan lantang menyuarakan protes. Mereka menegaskan: buku adalah sumber ilmu, bukan alat kriminalisasi.
Buku bukan ajakan untuk memberontak, tapi undangan untuk berpikir. Jika berpikir pun dilarang, apa yang tersisa dari demokrasi kita?
Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menegaskan bahwa pembatasan buku tak bisa dilakukan sembarangan; harus melalui proses hukum yang jelas dan adil. Tapi praktik di lapangan sering kali lebih cepat daripada nalar.
Kasus penyitaan buku 2025 memperlihatkan betapa rapuhnya kebebasan intelektual kita, bahwa pengetahuan bisa membusuk bukan karena tak dibaca, tapi karena disingkirkan.
Ketika rezim menilai isi buku dari kecurigaan, bukan dari pemahaman, maka ilmu kehilangan maknanya. Buku-buku yang seharusnya membuka pikiran malah dikubur di lemari barang bukti.
Kita lupa bahwa sejarah peradaban besar justru tumbuh dari pertemuan ide yang berbeda. Pemikiran Marx, Goldman, atau Guevara bukan untuk diimani, melainkan untuk dipelajari, untuk diperdebatkan, ditolak, atau mungkin diambil nilai kemanusiaannya.
Dunia maju karena keberanian untuk membaca yang tidak sejalan, bukan karena ketakutan terhadap perbedaan.