Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penyitaan Buku dan Simbol Pembusukan Pengetahuan

15 Oktober 2025   23:57 Diperbarui: 15 Oktober 2025   23:57 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penyitaan Buku Oleh Polisi (Sumber: https://chatgpt.com/)

Penyitaan buku bukanlah hal yang baru terjadi. Sejak masa kolonial Belanda hingga orde baru dan reformasi, kontrol terhadap pikiran dan monopoli tentang gejala-gejala sosial politik, dengan tujuan untuk melanggengkan sesuatu jenis "organic state", telah menjadi pola berulang dalam sejarah kekuasaan di Indonesia.

Setelah gelombang demonstrasi besar-besaran pada Agustus hingga September 2025, polisi menyita sejumlah buku yang dianggap "berbahaya", sebagian karena memuat pemikiran kiri, sebagian lagi karena ditemukan di lokasi aksi.

Ironisnya, buku-buku itu bukan bom, bukan senjata, bukan propaganda gelap; melainkan karya yang mengajak berpikir. Tapi, di mata rezim, berpikir tampaknya kini menjadi hal yang patut dicurigai.

Beberapa buku yang disita antara lain Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan karya Emma Goldman, hingga Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara.

Buku-buku ini punya sejarah panjang dalam khazanah ideologi, bukan sekadar teori revolusi, tapi juga refleksi tentang keadilan, perjuangan, dan kemanusiaan. Namun di negeri ini, halaman-halaman pemikiran itu kini dijadikan barang bukti, bukan bahan belajar.

Pihak kepolisian berdalih, penyitaan dilakukan semata karena buku-buku tersebut "kebetulan" berada di tempat kejadian perkara, bukan karena isi atau aliran ide di dalamnya.

Tapi alasan itu tetap menimbulkan tanda tanya besar: mengapa buku bisa jadi bagian dari penyidikan pidana? Mengapa membaca Marx atau  Goldman dianggap mencurigakan, sementara menutup diri dari wacana justru seolah menjadi hal yang aman dan benar?

Kasus penyitaan buku tahun 2025 bukanlah soal perkara hukum, tapi soal simbol, bagaimana pengetahuan perlahan membusuk di tangan kekuasaan yang takut pada pikiran.

Dalam masyarakat yang sehat, buku adalah jalan menuju pencerahan. Tapi di tengah paranoia ideologi, buku bisa berubah menjadi ancaman.

Ketika buku disita, bukan hanya benda yang hilang, melainkan keberanian untuk berpikir yang ikut disandera. Efeknya terasa pelan tapi pasti. Banyak orang mulai takut membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun