Birokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan publik yang netral dan profesional, kini sering terlihat sebagai 'mesin' politik.
Fenomena ini termanifestasi melalui perekrutan pejabat yang lebih berdasarkan loyalitas politik daripada kompetensi profesional, diperparah dengan praktik politik uang dan suap-menyuap yang melibatkan pejabat birokrasi.
Politisasi birokrasi secara langsung berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik. ASN yang seharusnya menjadi simbol integritas dan profesionalisme, malah terlibat dalam kegiatan politik yang mewajibkan prioritas mereka dalam melayani masyarakat.
Misalnya, seorang camat atau kepala dinas yang aktif dalam kampanye politik cenderung akan mengalihkan sumber daya dan perhatian yang seharusnya ditujukan untuk pelayanan publik.
Selain itu, penggunaan birokrasi untuk kepentingan politik mengarah pada pemborosan sumber daya negara. Program-program pemerintah yang seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan rakyat seringkali dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan politik, yang tidak jarang menyumbangkan efisiensi dan efektivitas.
Tantangan dan Harapan Menuju Birokrasi yang Profesional
Mengingat betapa krusialnya birokrasi yang bersih dari pengaruh politik, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mereformasi sistem dan struktur birokrasinya.
Perubahan radikal dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh ASN menjadi salah satu kunci untuk memulihkan fungsi birokrasi sebagai pelayan publik yang objektif dan tidak partisipatif dalam praktik politik.
Selain itu, perlu adanya upaya nyata untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses birokrasi.Â
Pengembangan sistem meritokrasi yang adil di mana penempatan yang didasarkan pada kompetensi dan kinerja adalah langkah penting untuk meminimalisir praktik nepotisme dan favoritisme yang seringkali diwajibkan pada politisasi izin.
Dalam menyambut perhelatan Pilkada 2024 mendatang, netralitas birokrasi di Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.