Mohon tunggu...
Heman Elia
Heman Elia Mohon Tunggu... Dosen Psikologi dan Konseling STT SAAT

Senang membaca dan menulis. Peminat masalah-masalah sosial dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi: Mustahilkah Diberantas? (1)

25 September 2025   16:29 Diperbarui: 25 September 2025   21:01 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto suasana dalam mobil (Sumber: Pexels/Lisa)

Bertahun-tahun lalu, saya diundang untuk menjadi pembicara sebuah seminar. Ini berkat kebaikan seorang teman saya yang memberi kesempatan.

Yang menarik adalah, ketika saya dijemput dan diantar oleh supir pribadi dari sang pengundang. Terjadi pembicaraan yang saya tidak pernah lupakan.

Ketika itu, politik menjadi topik utama di mana-mana, termasuk obrolan saya dengan sang supir. Itu karena Indonesia akan menjalani pemilu setelah masa reformasi.

Sang supir merupakan pendukung kuat salah seorang ketua partai. Dia ingin jagonyalah yang menjadi presiden. Ia bahkan bermaksud mempengaruhi saya untuk memilih jagonya.

Pembicaraan lalu mengarah ke masalah korupsi. Ini merupakan salah satu isu utama yang membuat rakyat bergerak untuk menumbangkan pemerintahan Orde Baru.

Saya punya harapan besar, tapi naif, bahwa Indonesia akan berjaya bila korupsi dapat diberantas oleh pemerintahan yang baru. Karena itu, saya antusias untuk ikut serta dalam pemilihan presiden yang tidak lama lagi diselenggarakan. Saya berharap dapat memilih tokoh pembaru yang sanggup memberantas korupsi.

Saya begitu terkejut, tidak menyangka bahwa sang supir ini ternyata memiliki pandangan yang berbeda. Dia bilang, bahwa korupsi tidak mungkin hilang. Sambil memberi contoh tentang dirinya, dengan jujur ia mengatakan, bahwa kalau isi bensin, dia akan minta bon kosong dari petugas SPBU. Bon kosong tentunya digunakannya untuk memanipulasi laporan pengeluaran, sebuah praktik kecil, namun mencerminkan mentalitas korup.

Oleh pandangannya ini, sang supir berniat memilih pemimpin yang ia sukai. Tanpa mempersoalkan rekam jejak ataupun visi misinya.

Awalnya saya terdorong untuk berdebat dengannya. Tapi saya lalu terdiam karena sedih. Saya merenung, memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh sang supir. Benarkah semua calon pemimpin itu korup? Kalau benar, saya patut pesimis.

Saya berusaha menelusuri alur pikir sang supir. Saya tahu persis bahwa sang supir memperoleh gaji lebih dari cukup dari bossnya. Karena saya kenal majikannya yang murah hati. Tetapi ini ternyata tidak membuatnya merasa cukup. Sehingga dia mencoba mencari caperan dari sumber lain. Padahal caperan itu uang kecil saja seharusnya. Tentunya itu  juga dapat diperolehnya dengan berlaku setia dan jujur.

Dia tahu bahwa tindakan yang dia lakukan itu tidak baik. Tapi tetap saja dia lakukan tanpa rasa bersalah sama sekali. Tidak ada rasa malu. Pun tidak juga merasa takut, bahwa perilakunya itu bakal ketahuan.

Itu berarti, bahwa korupsi sudah diterima sebagai bagian hidupnya. Bahkan sudah menjadi bagian dari kepribadiannya. Maka, ketika dia menilai orang lain, dia juga bersikap toleran terhadap korupsi. Tentu, pertimbangannya menentukan pilihan juga tidak berdasarkan baik-buruk seorang pemimpin secara moral maupun etik.

Pikiran saya lalu berperang satu sama lain. Ada rasa marah, kesal, sedih, frustrasi, bercampur jadi satu. Sulit untuk menguraikannya.

Pertanyaan belum terjawab tuntas. Apakah pandangan sang supir ini mewakili kebanyakan kita dalam menentukan pilihan pemimpin? Kalau kemudian pertanyaan ini dibalik, apakah memang masih ada pemimpin yang tidak punya pikiran korup? Yang siap berperang melawan korupsi?

Renungan ini belum selesai. Saya berharap dapat melanjutkannya di bagian tulisan saya berikutnya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun