Dia tahu bahwa tindakan yang dia lakukan itu tidak baik. Tapi tetap saja dia lakukan tanpa rasa bersalah sama sekali. Tidak ada rasa malu. Pun tidak juga merasa takut, bahwa perilakunya itu bakal ketahuan.
Itu berarti, bahwa korupsi sudah diterima sebagai bagian hidupnya. Bahkan sudah menjadi bagian dari kepribadiannya. Maka, ketika dia menilai orang lain, dia juga bersikap toleran terhadap korupsi. Tentu, pertimbangannya menentukan pilihan juga tidak berdasarkan baik-buruk seorang pemimpin secara moral maupun etik.
Pikiran saya lalu berperang satu sama lain. Ada rasa marah, kesal, sedih, frustrasi, bercampur jadi satu. Sulit untuk menguraikannya.
Pertanyaan belum terjawab tuntas. Apakah pandangan sang supir ini mewakili kebanyakan kita dalam menentukan pilihan pemimpin? Kalau kemudian pertanyaan ini dibalik, apakah memang masih ada pemimpin yang tidak punya pikiran korup? Yang siap berperang melawan korupsi?
Renungan ini belum selesai. Saya berharap dapat melanjutkannya di bagian tulisan saya berikutnya. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI