Sidoarjo, Jawa Timur Di berbagai sudut desa hingga jalan-jalan kota, fenomena sound horeg kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pesta rakyat. Istilah “horeg” berasal dari kata hore yang menggambarkan suasana riang dan penuh semangat, namun kini lebih identik dengan sistem pengeras suara berdaya tinggi yang menghasilkan suara bass ekstrem. Dalam berbagai acara seperti hajatan, festival malam, hingga pertunjukan jalanan, masyarakat Sidoarjo kerap menjadikan sound horeg sebagai simbol kemeriahan dan gaya hidup baru. Namun, di balik dentuman yang menggelegar, terdapat fenomena ilmiah menarik yang dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip fisika, sekaligus menimbulkan persoalan lingkungan yang nyata.
Gelombang bunyi yang dihasilkan oleh speaker sound horeg tidak sekadar suara biasa. Dalam konteks fisika, bunyi merupakan gelombang longitudinal yang merambat melalui medium udara. Artinya, partikel udara di sekitar sumber bunyi akan bergetar sejajar dengan arah rambat gelombang. Hubungan antara kecepatan rambat bunyi, frekuensi, dan panjang gelombang dijelaskan dengan rumus dasar fisika, yaitu
di mana v adalah kecepatan rambat bunyi (m/s), f adalah frekuensi bunyi (Hz), dan lambda merupakan panjang gelombang (m). Rumus ini menjelaskan bahwa semakin tinggi frekuensi suara, semakin pendek panjang gelombangnya. Namun, dalam kasus sound horeg, suara yang diproduksi umumnya memiliki frekuensi rendah, berada pada kisaran 20–100 Hz, dengan panjang gelombang yang sangat besar. Inilah yang menyebabkan dentumannya terasa hingga jarak puluhan meter, bahkan mampu menembus dinding rumah. Energi gelombang dengan frekuensi rendah memiliki kemampuan menjalar lebih jauh karena tidak mudah diserap oleh udara atau benda padat.
Di lapangan, fenomena ini dapat diamati secara kasat mata. Pada saat acara berlangsung, kaca jendela rumah warga di sekitar lokasi sering kali ikut bergetar. Beberapa orang merasakan sensasi seperti getaran kecil di dada atau lantai yang bergoyang halus. Getaran ini terjadi karena energi dari gelombang bunyi mengenai benda padat dan menyebabkan resonansi, yaitu keadaan ketika frekuensi getaran bunyi sama dengan frekuensi alami benda tersebut. Ketika resonansi terjadi, amplitudo getaran meningkat secara signifikan. Akibatnya, kaca, dinding, atau atap rumah dapat ikut bergetar bahkan dalam beberapa kasus mengalami keretakan kecil. Fenomena ini menjadi contoh nyata penerapan teori fisika dalam kehidupan sehari-hari: bahwa energi bunyi bukan sekadar suara, tetapi juga energi mekanik yang dapat menimbulkan efek fisik.
Selain resonansi, fenomena fisika lain yang dapat dijelaskan adalah efek Doppler, yakni perubahan frekuensi bunyi yang terdengar akibat pergerakan sumber atau pendengar. Misalnya, ketika seseorang berjalan mendekati sumber sound horeg, suara bass akan terdengar lebih tinggi, dan ketika menjauh, suara terdengar lebih rendah. Efek ini dijelaskan melalui persamaan:
Dari sisi lingkungan, fenomena ini membawa dampak yang cukup serius. Gelombang bunyi dengan intensitas tinggi dapat menjadi sumber polusi suara. Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batas aman intensitas suara yang dapat didengar manusia tanpa menimbulkan kerusakan adalah sekitar 85 desibel (dB) untuk paparan selama 8 jam. Namun, pengukuran lapangan terhadap sound horeg menunjukkan intensitas mencapai 100 hingga 120 dB di radius 10 meter dari sumber suara. Ini berarti kekuatan suara tersebut setara dengan kebisingan di dalam konser musik besar atau dekat mesin pesawat jet. Dalam jangka panjang, paparan suara setinggi ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen karena merusak sel-sel rambut halus di koklea, bagian telinga dalam yang berfungsi menangkap getaran bunyi.
Bukan hanya pendengaran yang terdampak. Paparan kebisingan ekstrem juga berpengaruh pada sistem saraf dan fisiologi tubuh. Warga yang tinggal di sekitar lokasi acara sound horeg di Sidoarjo sering kali mengeluhkan sulit tidur, jantung berdebar, sakit kepala, hingga peningkatan stres akibat suara bass yang terus-menerus berdentum sepanjang malam. Kondisi ini disebut noise-induced stress, di mana tubuh merespons kebisingan dengan meningkatkan produksi hormon adrenalin. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu tekanan darah tinggi dan gangguan kesehatan lainnya.
Dampak lain yang tak kalah penting adalah gangguan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Secara struktural, getaran bunyi dapat menyebabkan kerusakan mikro pada material bangunan, terutama jika intensitas bunyi melebihi ambang getaran alami suatu material. Sementara itu, hewan peliharaan seperti anjing, ayam, atau sapi, yang memiliki sensitivitas pendengaran lebih tinggi dibanding manusia, juga mengalami tekanan akibat gelombang suara berenergi besar. Beberapa peternak di Sidoarjo melaporkan hewan mereka menjadi gelisah dan kehilangan nafsu makan setelah malam acara dengan sound horeg digelar. Dari sisi sosial, perbedaan persepsi antara pihak yang mengadakan acara dan warga yang merasa terganggu sering menimbulkan konflik kecil di masyarakat. Di satu sisi, penyelenggara menganggap sound horeg sebagai bentuk hiburan dan kreativitas, tetapi di sisi lain, warga menilai kebisingan tersebut mengganggu ketenangan dan melanggar hak atas lingkungan yang nyaman.