Mohon tunggu...
Helmy Hidayat Mahendra
Helmy Hidayat Mahendra Mohon Tunggu... Penulis - Researcher

Master Student in Community and Development Psychology University of Airlangga | Human Rights Researcher in Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran Pemerintahan dalam Menyelesaikan Peristiwa Wamena Ditinjau dari Pandangan Psikologi Politik

23 Oktober 2019   00:18 Diperbarui: 23 Oktober 2019   01:07 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selesai sudah masa kepemimpinan Jokowi pada periode 2014-2019 yang menyisakan berbagai banyak pekerjaan rumah tangga bagi kepemimpinan Jokowi di masa mendatang, dimana salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan mengenai bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat yang masih sering terjadi di periode Jokowi kemarin. Salah satu kasus yang terdekat adalah mengenai peristiwa Wamena.

Seperti yang kita ketahui, tepat sebulan lalu telah terjadi peristiwa yang cukup mengerikan yaitu kerusuhan Wamena. Menurut Bupati Banua, peristiwa tersebut telah menyebabkan kerusakan 787 unit perumahan, kios, ruko, dan kantor pemerintah. Selain itu 122 unit mobil dan 101 sepeda motor. Ia menewaskan sedikitnya 25 orang non-Papua dan 8 orang Papua dan kurang lebih terdapat 8.200 orang yang mengungsi di Polres Wamena, Kodim Wamena, dan Bandara Wamena.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik bahwa peristiwa Wamena terjadi akibat kabar bohong yang berkaitan dengan kesalahpahaman tentang isu seorang guru sekolah yang disebut melecehkan anak didiknya dengan kaliman rasial, dimana isu tersebut rupanya membakar amarah warga setempat. Selain itu dari peristiwa tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya beredar isu.

Selain diperparah dengan hal tersebut terjadi  juga kekerasan dan kerusuhan yang menimbulkan banyak korban manusia dan juga banyak bangunan yang terbakar, bahkan lebih jauh terdapat banyak warga yang kemudian harus mengungsi. Belum selesai mengenai kasus rasial yang terjadi di Surabaya, Malang, dan beberapa kota yang terdapat mahasiswa Papua kemudian ditambah lagi dengan isu Wamena yang memanas.

Peristiwa Wamena sendiri berdampak pada beberapa bagian yang ada di kota meliputi Pendidikan, kesehatan, hingga perekonomian. Dari persitiwa ini didapati bahwa sejatinya peristiwa ini muncul karena adanya kesalahpahaman, dimana kasus bernada rasial sudah diselesaikan tetapi kemudian isu itu meledak ke mana-mana, dan kemudian datang massa begitu besar dari berbagai penjuru yang ada, yang kemudian membakar Gedung-gedung dan menyebabkan korban jiwa.

Selain itu massa yang muncul bukanlah dari warga asli Wamena sendiri, dan banyak yang berspekulasi bahwa peristiwa tersebut telah dirancang sedemikian rupa, yang menimbulkan banyaknya berita hoax yang beredar.

Presiden Jokowi sendiri selaku kepala pemerintahan di Indonesia harusnya memiliki peranan yang sangat dominative dalam penyelesaian peristiwa Wamena ini, dimana kepala pemerintahan memiliki pengaruh juga terhadap peran media massa. Seperti yang kita tau, beberapa informasi yang diberikan dari Wamena diberikan secara pemberitaan yang sama sekali tidak benar, malah menyampaikan berita yang hoax.

Jika dilihat dari sudut pandang psikologi politik peran media sangatlah kuat dalam kasus kerusuhan ini. Media dianggap memainkan suatu peran penting dalam proses penyiapan, karena media menentukan isu isu mana yang hadir pada bagian terdepan.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, beberapa penyampaian dari para petinggi atau jajaran pemerintahan masih kurang proaktif, atau ikut andil besar dalam penanganan kasus ini. Terlebih lagi pernyataan Jokowi yang hanya memberikan statement untuk masyarakat agar tetap tenang dan tidak terprovokasi masih jauh dari harapan warga Wamena sendiri.

Selain itu pembatasan informasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga Wamena yang menyampaikan ke public-pun bisa jadi salah satu tindak diskrimintaif yang dilakukan oleh jajaran pemerintahan, dimana seharusnya pemerintah memberikan ruang untuk penyampaian informasi secara riil.

Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2009), menjelaskan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar teori mengenai komunikasi massa :

  • Media memiliki kekuatan memaksa dalam masyarakat yang dapat menumbangkan norma-norma dan nilai-nilai hingga merusak tatanan sosial. Untuk mengatasi bentuk ancaman ini media harus berada di bawah kontrol elit.
  • Media secara langsung dapat mempengaruhi pikiran orang dan mengubah pandangan mereka tentang dunia sosial.
  • Ketika pikiran orang diubah oleh media maka seluruh konsekuensi buruk dilihat sebagai hasil yang tidak hanya membawa kehidupan individu pada kehancuran namun juga menciptakan berbagai permasalahan sosial dalam skala besar.
  • Rata-rata orang sangat rapuh atau tidak berdaya menghadapi media karena dalam masyarakat massa mereka diisolasi dari institusi sosial tradisional yang sebelumnya melindungi mereka dari manipulasi media.
  • Kekacauan sosial yang diinisiasi oleh media kemungkinan akan diatasi dengan pembentukan tatanan sosial totaliter.
  • Media massa mau tidak mau memperdebatkan bentuk budaya yang lebih tinggi, yang menyebabkan penurunan peradaban secara umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun