Mohon tunggu...
Helmi Fithriansyah
Helmi Fithriansyah Mohon Tunggu... -

Wild and Fun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa yang Kehilangan Jati Diri

10 Maret 2012   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:16 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya kita juga sudah mulai lupa akan perjuangan para pendiri bangsa dalam merumuskan dan menetapkan pondasi falsafah identitas keIndonesiaan. Melalui pergumulan pemikiran para pendiri bangsa ini mampu melampaui batasan-batasan identitas yang bersifat primordial. Hingga akhirnya, Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, mengeluarkan pandangannya tentang filsafat identitas dari bangsa Indonesia, Pancasila.

Pancasila adalah pondasi politik identitas bangsa Indonesia. Pancasila, yang menjadi dasar tata kelola hidup bersama bangsa Indonesia, juga mampu melampaui batasan pandangan politis apapun. Pancasila bukanlah sebuah “isme” atau paham yang berkaitan dengan ideologi atau agama apapun (Prof. Dr. Armada Riyanto, CM; 2011; 137). Pancasila adalah jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Beragam rezim politik pernah jatuh bangun dalam menafsirkan makna Pancasila. Falsafah bernegara yang terangkum dalam Pancasila, hingga kini belum mampu diimplementasikan secara utuh. Akibatnya muncul berbagai kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kekacauan ini sebenarnya sudah diprediksi akan terjadi. Jauh hari, Bung Karno sudah mengingatkan kekacauan akan terjadi bila bangsa ini menelan secara mentah-mentah ideologi yang berasal dari luar (Prof. Dr. Armada Riyanto, CM; 2011; 137).

Nampaknya, kita perlu mencontoh keberhasilan negara-negara yang berhasil memadukan nilai kebangsaannya dengan tuntutan perkembangan jaman yang terangkum dalam apa yang dinamakan globalisasi. Dan, bangsa Cina telah membuktikannya.

Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, bangsa Cina berhasil memadukan nilai-nilai yang terkandung dalam liberalisme dengan komunisme. Deng Xiaoping juga tidak mau terlalu dipusingkan dengan ideologi yang harus dianut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan ini terangkum dalam ungkapannya yang terkenal “tidak menjadi soal kucingnya berwarna hitam atau putih sepanjang dapat menangkap tikus” (Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD; 2012; 359).

Dengan karakter sosialisme dengan watak Cina, bangsa ini mampu tetap menjaga sentralitas peran negara dalam menjalankan roda pembangunan. Dan, bangsa Cina telah memberikan pelajaran berharga bagaimana seharusnya negara mengkombinasikan perannya dalam menghadapi serbuan liberalisme. Hasilnya, Cina menjadi negara yang cukup disegani dalam bidang perekonomian dan perdagangan.

Satu nilai positif yang dapat diambil dari keberhasilan bangsa Cina adalah tidak menelan secara mentah-mentah “isme-isme” baru seiring perkembangan jaman. Tapi mencoba memadukannya dengan apa yang telah menjadi nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan, ternyata berhasil.

Sepertinya, para elit bangsa Cina lebih mampu memaknai apa yang diungkapkan oleh Bung Karno untuk tidak menelan secara mentah-mentah ideologi yang berasal dari luar. Lalu bagaimana dengan elit Indonesia?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun