Sore itu, saya meledak. Dan dalam ledakan itu, saya menghancurkan hati anak saya.
Pemicunya sepele, genangan air seni di depan pintu kamar mandi. Anak saya, saat itu baru berusia 3 tahun 6 bulan, berdiri di sana. Kaki mungilnya gemetar, wajahnya pucat pasi, dan dengan suara lirih ia berbisik, "Bunda, keluar."
Melihat genangan itu, sesuatu dalam diri saya meledak. Dada sesak, ada sesuatu yang bergerak cepat ke atas kepala. Sumbu kesabaran putus seketika.Â
Saya mengamuk, menyalahkan, dan akhirnya menangis karena frustasi. Gelas emosi yang sudah penuh sesak oleh lelah fisik dan mental akhirnya pecah.Â
Tangisnya pun membuncah, air matanya lebih deras. Ia hanya bisa terisak, mematung di atas keset kamar mandi yang basah.
Itulah momen saat saya menyadari, sayalah orang pertama yang menanamkan rasa tidak aman pada diri anak saya sendiri.Â
Sejak hari itu, setiap kali saya berbicara dengan nada sedikit lebih tegas dan keras, atau ekspresi wajah mengeras, tubuhnya langsung menegang. Matanya menyiratkan ketakutan, dia mengira amarah saya akan meledak lagi. Dia merasa tidak aman dan cemas.Â
Penyesalan itu terasa seperti jangkar yang menenggelamkan saya ke dasar palung. Menyesakkan dan gelap. Saya tidak tahu cara memperbaikinya.
Meminta Bantuan Profesional
Langkah pertama adalah saya mengakui bahwa saya butuh pertolongan. Penyesalan itu membawa saya duduk di kursi ruang konsultasi psikiater. Pelajaran pertama yang saya terima bukanlah tentang anak, tetapi tentang saya.Â