Rambut pirangnya telah tipis dan memutih, tubuh tuanya yang gemuk ditopang oleh kakinya yang berjalan agak lambat, kulitnya telah keriput dan terpapar oleh banyak komedo usia ketuaan. Mungkin sebaya ibuku, atau bisa jadi lebih. Saat ruang boarding di Bandara Dubai masih kosong, dia adalah sosok pertama yang mengangguk tersenyum padaku.
Ternyata sosok tua ini luar biasa. Dia telah menempuh perjalanan jauh dari Johannesburg di Selatan Afrika menuju Belanda. Dengan bahasa Inggris yang amat lambat dia bercerita. Anaknya yang tinggal di Belanda sangat menanti dan membutuhkan kehadirannya. Keletihannya menempuh belasan jam perjalanan dengan ongkos puluhan juta tak sebanding dengan kebahagiaan anak perempuannya yang tengah berharap kedatangannya. Kukira dia akan bercerita tentang cucu perempuannya juga, atau kegesitan anaknya yang menjadi wanita karir di Belanda. Ternyata….Dengan mata berkaca, dia bercerita. Anak perempuannya yang ternyata sebaya denganku, menderita sakit kanker usus besar. Beberapa hari lalu, baru saja dioperasi dengan memberi lubang  diperutnya, agar sisa makanan hasil pencernaan dapat dikeluarkan tanpa melalui usus besar.
Aku tercekat dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Mungkin kecemasan dan keperihan hatinya mendorongnya untuk berbagi derita denganku, orang asing yang baru saja ditemuinya di Bandara negeri asing. Ah, betapa…Aku hanya berkata padanya untuk terus berdoa. Karena doalah yang dapat menenangkan kecemasan dan kegundahan dan bahkan memberikan keajaiban. Dan, aku katakan padanya, yang pasti putrinya akan sangat bahagia dengan kehadirannya dan akan merasa lebih baik… Buat seorang ibu, aku tahu, kebahagian darah dagingnya walaupun dia harus bersusahpayah untuk itu, adalah kebanggaannya! Dan tak ada yang dapat melebihi keperihan hati seorang ibu selain melihat penderitaan anak yang dilahirkannya!
(Dubai, Oct 2 2008)