Mohon tunggu...
Helenerius Ajo Leda
Helenerius Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - Freedom

Borjuis Mini dan Buruh Separuh Hati

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Seksisme dan Kekerasan Seksual di Flores

14 Februari 2020   11:15 Diperbarui: 14 Februari 2020   11:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Fenomena kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak terus aktual dari waktu ke waktu.   Laporan demi laporan seputar kejahatan seksual terus mengalir tiada habisnya, dan kita senantiasa dipertontonkan oleh aksi jahanam ini yang tampil dalam ruang-ruang vitrual. Fenomena ini menjadi tren yang kian meningkat dan bahkan terus menguat dalam tatanan masyarakat kita.

Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik kian up to date melaporkan aksi kejahatan seksual. Pada penghujung Januari 2020, harian umum Flores Pos (FP) memberitakan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang remaja putri berinisial MKG. Penyintas mengalami tindakan kekerasan sesual oleh YN, di Rewokoli, Kelurahan Dangan Kecamatan Aesesa, Nagekeo (Florespos, 31 Januari 2020). 

Praktek kejahatan seksual yang terjadi di Nagekeo hanyalah contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di bumi Flobamora umumnya dan NTT khususnya. Di beberapa kabupaten lainnya seperti di Sikka-Maumere, berdasarkan cacatan akhir tahun Truk Maumere sekitar 69,24 % kekerasan seksual masif terjadi di ranah personal dan komunitas yang menyasar anak-anak remaja sebanyak 16 korban Pelakukanya adalah orang-orang dekat dari korban (florespos, 1 Februari 2020). 

Di Lembata, berdasarkan pemberitaan Poskupang bahwa tercatat ada sejumlah 177 kasus kehamilan yang menimpa anak di bawah umur, dan diperkirakan jumlahnya akan bertambah seiring bertambahnya kasus kekerasan terhadap anak dibawah usia 20 tahun (poskupang, 29 Januari 2020). 

Data-data kejahatan seksual yang disajikan diatas ibarat pucak gunung es, masih banyak kasus serupa yang menimpa perempuan dan anak-anak kita terjadi di tempat-tempat lain yang tak sempat di eksplorasi dalam tulisan ini. Begitu pun, masih banyak juga penyintas yang belum berani speak up atas kasus yang menimpa mereka diluar sana.

Terkait dengan masalah ini, lantas pertanyaannya adalah mengapa kejahatan seksual terus terjadi dan kian menigkat dalam tatanan masyarakat kita? Latar belakang struktural macam apa yang mengkondisikan praktek kejahatan seksual tetap langgeng hingga saat ini? Bagaimana jalan keluar untuk menghancurkan kejahatan seksual ini?

Maraknya kasus kejahatan sekusal yang menimpa perempuan dan anak-anak merupakan buah dari seksisme. Kamus Merriam Webster mendefinisikan seksisme sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamain, yang hadir dalam bentuk kekerasan dan kejahatan seksual. 

Secara eksplisit, Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebutkan delapan bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual, diantaranya; pemerkosaan, pemukulan dan serangan fisik, penyiksaan, kekerasan dalam bentuk pelacuran, pornografi, kekerasan terselubung (memegarng/menyentuh bagian tertentu dari tubuh), pelecehan seksual secara verbal, misalnya menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengancara yang ofensif, menyakiti atau membuat malu sesorang dengan omongan kotor, meninterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksual, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan sesuatu dan lainnya.

Karena seksisme merupakan diskriminasi berdasarkan jenis kelami, maka seksisime menarget bukan hanya kaum perempuan namun juga laki-laki dari kelas yang lemah, walalupun fakta memperlihatkan kaum perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban dari praktek predatoris ini.

Begitupun para pelaku bukan hanya laki-laki saja (male sexism), kaum perempuan juga dapat menjadi aktor (female sexism) kejahatan ini. Pada intinya, persoalan seksisme terletak pada ketimpangan relasi kekuasaan antara satu kelompok/kelas terhadap kelompok/kelas lain, tanpa memandang perbedaan gender.

Dalam konteks sosial kultural masyarakat flores, seksisme langgeng berkat perkawinan antara dua entitas budaya feodalisme dan patriarki. Feodalisme diartikan sebagai sebentuk kekuasan dalam tatanan masayrakat yang dijalankan oleh kelas-kelas bangsawan/tuan tanah yang memegang monopoli atas faktor-faktor produksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun