Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan literasi menjadi semakin penting. Namun, ironisnya, banyak anak-anak yang justru mengalami "minim literasi". Siapa yang sebenarnya salah dalam situasi ini?
Pendidikan adalah proses pembelajaran yang melibatkan interaksi antara pendidik dan peserta didik, bertujuan untuk mengembangkan berbagai aspek potensi individu, seperti pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk kemajuan individu dan bangsa. Melalui pendidikan, kita dapat menanggulangi kebodohan dan kemiskinan, menciptakan individu yang cerdas, kreatif dan inovasi. Di era digital yang terus berkembang, teknologi telah menjadi kekuatan utama dalam mengubah cara kita belajar. Dengan adanya Teknologi , pembelajaran mudah diakses dan informasi yang tak terbatas. pendidikan telah melihat perubahan besar dalam pengalaman belajar siswa. Pemanfaatan teknologi telah memungkinkan para pendidik untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih interaktif, menyenangkan, dan efektif.Namun, dibalik kemudahan dan peluang yang ditawarkan muncul tantangan serius: minimnya literasi. Minim literasi merujuk pada kondisi seseorang yang memiliki kemampuan membaca, menulis, dan memahami informasi di bawah standar yang diharapkan. Di era digital, minim literasi juga mencakup kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif. Kondisi minim literasi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius.Â
Berdasarkan data yang diperoleh dari UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat baca dan hasil Programme for International Student Assessment (PISA), sekitar 70% anak-anak di Indonesia memiliki tingkat literasi di bawah standar minimum. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa belum mampu memahami dan menggunakan informasi secara efektif. Dari 208 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-100 dengan tingkat literasi 95,44%. Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang mengalami kesulitan dalam mengakses, memahami, dan memanfaatkan informasi, terutama di era digital.Â
mengapa minim literasi masih terjadi diera digital yang informasi sudah mudah diakses? Meskipun informasi mudah diakses, berikut beberapa faktor yang menyebabkan minimnya literasi masih terjadi:
1.Kurangnya minat baca: Anak-anak lebih tertarik pada hiburan digital daripada membaca buku.
2.Keterbatasan kemampuan memilah informasi: Internet menyediakan akses ke berbagai sumber informasi, tetapi tidak semuanya dapat dipercaya. Anak-anak dan bahkan orang dewasa sering kali kesulitan membedakan antara informasi yang valid dan hoax atau disinformasi.
3.Penggunaan gawai yang berlebihan: Penggunaan gawai yang tidak terkontrol dapat mengganggu konsentrasi dan minat belajar anak.
4.Kurangnya pengawasan dari orang tua : Kurangnya pengawasan dan komunikasi antara orang tua dan anak mengenai aktivitas digital mereka dapat menyebabkan anak-anak terpapar pada konten yang tidak sesuai atau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak produktif.
5.Kurangnya pembiasaan membaca sejak dini: Melalui digital/teknologi yang sudah berkambang pesat diera sekarang anak-anak sudah kurang tertarik untuk membaca mereka lebih memilih bermain game online yang mengakibatkan minim nya literasi mereka.
Di era digital yang serba cepat ini, kemampuan literasi menjadi kunci utama untuk bertahan dan berkembang. Namun, kenyataannya, tingkat literasi di Indonesia masih memprihatinkan, terutama di kalangan pelajar.Minimnya literasi di era digital dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan.Â
Pertama, peran orang tua sangat penting dalam menanamkan minat baca sejak dini, namun kurangnya pengawasan dan bimbingan dalam penggunaan gawai dapat menghambat perkembangan literasi anak.Â
Kedua, guru memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan inovatif, namun metode pembelajaran yang kurang efektif dan kurangnya pemanfaatan teknologi dapat membuat siswa kurang termotivasi.Â
Ketiga, anak-anak sendiri seringkali lebih tertarik pada hiburan digital daripada membaca, sehingga perlu adanya upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya literasi dan kemampuan memilah informasi yang benar.Â
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi minimnya literasi di era dgital yaitu, orang tua perlu aktif membacakan buku untuk anak, membatasi penggunaan gawai, dan memberikan contoh yang baik dalam membaca.Â
Guru dapat menggunakan metode pembelajaran yang interaktif dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan minat baca siswa. Anak-anak perlu diajak untuk berdiskusi tentang informasi yang mereka temukan di internet dan diajarkan cara membedakan informasi yang benar dan salah. Selain itu, perlu adanya program literasi yang berkelanjutan di sekolah dan masyarakat, serta peningkatan akses terhadap buku dan sumber informasi yang berkualitas.
Siapa yang salah? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita melihat masalah ini. Jika kita melihat dari sudut pandang tanggung jawab, maka setiap pihak memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Namun, jika kita melihat dari sudut pandang solusi, maka setiap pihak juga memiliki peran dalam meningkatkan literasi. Orang tua perlu lebih aktif mendampingi anak dalam penggunaan gawai dan menanamkan minat baca. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan inovatif. Anak-anak perlu lebih sadar akan pentingnya literasi dan belajar memilah informasi yang benar. Dengan kerjasama dari semua pihak, kita dapat mengatasi masalah minimnya literasi di era digital.Â
Dengan meningkatkan literasi, kita dapat menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan berdaya saing, yang akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI