Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal, Filter Terbaik Bahaya Radikal

16 Juli 2019   11:01 Diperbarui: 17 Juli 2019   09:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 131 SM, dinasti Han di Cina mencatat bahwa banyak masyarakat Cina pindah ke beberapa negara karena desakan musim yang tidak kompromis terhadap kebutuhan hidup. Mereka tidak saja mencari kehidupan baru di benua Amerika, Eropa dan Australia. Dalam mencapai wilayah tujuannya itu mereka melewati negara Asia, termasuk Asia Tenggara. Akhirnya karena tak sanggup lagi ke Australia atau wilayah lain, mereka menetap di Asia Tenggara. Karena itu kita banyak mendapati masyarakat keturunan Cina tidak saja di Malaysia, Vietnam, Kamboja tapi juga India, Singapura dan Indonesia.

Pada Abad 15 saat dinasti silih berganti dan peperangan terjadi antar penguasa, keinginan untuk keluar dari Cina dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di wilayah lain tak terelakkan lagi.  Sehingga emigrasi keluar Cina tambah sering terjadi.

Beberapa suku bangsa Cina yang ke Indonesia (dulu lebih dikenal sebagai nusantara) datang dengan beberapa gelombang. Awalnya kaum pria saja lalu beberapa tahun kemudian mereka datang dengan membawa keluarga.  Beberapa daerah ditengarai sebagai tujuan mereka yaitu wilayah Sumatera Utara yaitu Medan, Kalimantan Barat yaitu d Pontianak, dan wilayah Jawa dalam hal ini adalah pesisir utara pulau Jawa.

Imigran Cina yang mendarat di Jawa umumnya datang per keluarga batih (keluarga kecil), hal ini berbeda dengan imigran  Cina yang akhirnya memilih Medan dan Pontianak yang umumnya datang dalam kelompok yang sangat besar. Yang menarik untuk diceritakan adalah para imigran Cina yang memilih mendarat dan tinggal di  beberapa titik pesisir utara pulau Jawa seperti Batavia, Semarang, Rembang, Tuban dll.

Mereka yang akhirnya memilih tinggal di pantai utara pulau Jawa dan hanya dalam kelompok-kelompok kecil itu mau tak mau harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya agar mereka tetap hidup. Di sinilah proses akuturasi terjadi, yaitu pendatang Cina berhubungan erat dengan penduduk asli daerah itu dengan sangat baik. Hubungan mereka tak saja hubungan dagang tapi juga sehari-hari, termasuk soal bahasa. Itulah sebabnya di beberapa daerah seperti Semarang, Rembang dan Surabaya bahasa Jawa yang digunakan oleh para pendatang seringkali punya cengkok tertentu dan khas. Itu adalah contoh bagaimana akulturasi terjadi di sebagian wilayah Indonesia, dimana suku Jawa berbaur dengan kaum Cina pendatang. Beberapa kita dapati mereka memiliki keluarga baru yang terdiri dari Jawa dan Cina.

Kedatangan Cina yang  datang hanya untuk berharap penghidupan dan masa depan yang lebih layak dibanding saat di daratn Cina tidak dianggap kaum pribumi (Jawa, Sumatera atau Kalimantan) sebagai sesuatu yang membahayakan karena tidak membawa sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma adat dan sosial di wilayah itu. Norma-norma dan aturan adat biasanya bersifat harmoni dan tidak memecah belah. Mereka biasanya beragama Hong Hu Cu atau Budha, tetapi mereka bisa bersinergi dengan masyarakat setempat dengan baik.

Beberapa waktu lalu, di beberapa daerah pengaruh radikal hadir. Pengaruh radikal itu biasanya terbungkus dengan ajaran-ajaran agama yang sudah ada tetapi membawa ajaran untuk bersikap agresif terhadap perbedaan. Ini kita temukan di beberapa titik semisal di pesisir utara Jawa Barat dan Sumatera Barat. Dua wilayah itu bisa dikatakan sebagai daerah yang punya pengaruh radikal.

Tetapi di beberapa wilayah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, pengaruh radikal bisa dimimalisir karena  kuat dan eratnya ikatan antar masyarakat meskipun mereka berasal dari suku berbeda. Seperti ilustrasi di atas adalah suku Jawa, Cina dan Madura mampu membendung pengaruh radikal tersebut sehingga pengaruh itu tidak mendapat simpati masyarakat.

Sehingga kita bisa simpulkan di sini bahwa satu wilayah bisa saja homogen atau heterogen. Tapi sepanjang masyakarat itu bisa memfilter mana pengaruh (termasuk ajaran atau inspirasi) yang bersifat baik dan mana yang buruk (jahat) maka jika ada faham radikal yang intinya bermaksud jahat, akan ditolak oleh masyarakat itu.

Inilah gambaran kekuatan kearifan lokal masyarakat kita terhadap faham radikalisme yang tidak sejalan dengan profil masyakat kita. Kearifan lokal bekerja untuk memproses dan memfilter hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai di wilayah tersebut. Selayaknya kita memelihara nilai-nilai lokal yang membawa memaslahatan bagi rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun